Sitti Nurbaya: Tradisi, Emansipasi, dan Nasionalisme

Oleh Denny Prabowo


Novel Sitti Nurbaya, Kasih tak Sampai karya Marah Rusli diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka tahun 1922. Meski diterbitkan dua tahun setelah Azab dan Sengsara, novel ini dianggap sebagai monumen sastra Angkatan 20. Tidak heran jika pada tahun 1969, novel ini meraih penghargaan tahunan dari pemerintah Republik Indonesia.Hampir semua kritikus sastra Indonesia menempatkan Sitti Nurbaya sebagai karya penting dalam sejarah kesusastraan Indonesia.

Secara tematik, novel ini tidak sekadar menampilkan latar sosial yang lebih jelas, tetapi juga kritik terhadap adat-istiadat yang lebih tegas. Meski masih mengusung persoalan perjodohan seperti dalam novel terdahulunya, Azab dan Sengsara, tetapi konflik yang diangkat lebih rumit dan lebih luas lagi.

Jika kita meninjau novel ini melalui struktur formalnya (unsur intrinsik), tentu sulit dicari keunggulan Sitti Nurbaya. Selain gaya bahasa yang masih dekat dengan karya sastra lama, novel ini menggunakan alur konvensional, dan penokohan yang—mengambil istilah Sapardi Djoko Damono—goyah. Namun, jika ditinjau dari perkembangan sastra Indonesia, situasi sosial pada zamannya, dan politik pemerintah kolonial, Sitti Nurbaya memegang peranan penting. Novel ini akan memberikan gambaran sikap serta pemikiran sekelompok orang pada masa itu.


Ringkasan Cerita

Sitti Nurbaya adalah anak saudagar kaya bernama Baginda Sulaiman. Ibunya telah meninggal dunia, ia hidup hanya berdua saja dengan ayahnya. Sitti Nurbaya tinggal bersebelahan rumah dengan Samsulbahri, putra dari Sutan Mahmud Syah, seorang penghulu di kota Padang. Hubungan kedua keluarga itu terjalin dengan baik.

Sejak kecil, Sitti Nurbaya berteman akrab dengan Samsulbahri. Keduanya selalu berangkat ke sekolah dan pulang ke rumah bersama-sama. Mulanya hubungan persahabatan mereka seperti hubungan kakak beradik. Namun, saat mereka beranjak remaja perasaan itu berubah menjadi cinta kasih. Sebelum Samsulbahri berangkat ke Jakarta untuk melanjutkan studinya di Sekolah Dokter Jawa, ia mengutarakan perasaan cintanya kepada Sitti Nurbaya saat mereka berjalan-jalan di Gunung Padang. Gayung bersambut, Sitti Nurbaya juga telah lama memendam cinta kepada Samsulbahri.

Ketika Samsulbahri telah berada di Jakarta, ia mendapat firasat buruk melalui mimpi. Dalam mimpinya, ia memanjat menara tinggi bersama Sitti Nurbaya. Ketika mereka hampir sampai di puncak, tiba-tiba datang Datuk Meringgih merengut dan melarikan Sitti Nurbaya.

Datuk Meringgih adalah salah seorang saudagar kaya yang hidup di Padang ketika itu. Gelar Datuk yang ada pada dirinya, sekadar sebutan saja karena ia kaya, bukan karena ia seorang bangsawan atau penghulu adat. Ia seorang yang licik, pelit, serta amat bengis budi pekertinya. Dalam berdagang, ia tak segan-segan menjatuhkan saingannya dengan berbagai cara.

Datuk Meringgih tidak senang dengan kesuksesan Baginda Sulaiman. Melalui kaki tangannya, ia hancurkan kebun kelapa Baginda Sulaiman dengan racun. Perahu-perahu ayah Sitti Nurbaya itu pun ditenggelamkan. Belum puas sampai di situ, ia juga menghasut para pelanggan baginda sulaiman agar tak lagi berbelanja kepadanya.

Baginda Sulaiman jatuh miskin. Tanpa prasangka apa-apa, ia meminjam uang kepada orang yang sebenarnya telah menyebabkan dirinya bangkrut, yaitu Datuk Meringgih. Pucuk dicinta ulam tiba, Baginda Sulaiman masuk perangkap Datuk Meringgih.Rentenir kikir yang tamak dan licik itu, meminjamkan uang kepada Baginda Sulaiman dengan syarat harus dapat dilunasi dalam waktu tiga bulan. Pada saat yang telah ditetapkan, Datuk Meringgih pun datang menagih janji. Namun, karena Baginda Sulaiman telah dirtinggal pelanggannya, ia tak mampu melunasi hutang Datuk Meringgih. Datuk yang serakah itu mengancam akan memenjarakan Baginda Sulaiman jika utangnya tidak segera dilunasi, kecuali jika Sitti Nurbaya diserahkan menjadi istri mudanya.

Baginda Sulaiman tentu saja tidak mau putri tunggalnya menjadi korban lelaki hidung belang itu walaupun sebenarnya ia tak dapat berbuat apa-apa. Ia pasrah saja digiring polisi dan siap menjalani hukuman. Pada saat itulah, Sitti Nurbaya keluar dari kamarnya dan menyatakan bersedia menjadi istri Datuk Meringgih asalkan ayahnya tidak dipenjarakan.

Samsulbahri mendengar peristiwa yang menimpa diri kekasihnya itu melalui surat Sitti Nurbaya. Ia teringat firasaat buruknya. Mimpinya itu kini telah menjadi kenyataan. Namun, cintanya pada Sitti Nurabaya tidaklah berubah. Ketika liburan, ia pulang ke Padang, dan menyempatkan diri menengok Baginda Sulaiman yang sedang sakit. Kebetulan pula, pada saat bersamaan, Sitti Nurbaya tengah menjenguk ayahnya. Keduanya pun bertemu lalu saling menumpahkan perasaannya masing-masing.

Ketika mereka sedang asyik bermesraan, tiba-tiba datang Datuk Meringgih. Lalaki tua itu tentu saja marah, menyaksikan istrinya berduaan dengan Samsulbahri. Namun, Samsulbahri berusaha membela diri. Ia bahkan mengungkapkan seluruh kelicikan Datuk Meringgih yang telah merebut kekasihnya. Pertengkaran pun tak dapat dihindarkan. Pada saat pertengkaran terjadi, ayah Sitti Nurbaya keluar rumah. Namun, karena kondisinya yang kurang sehat, ia jatuh dari tangga hingga menemui ajalnya.

Ayah Samsulbahri yang merasa malu atas perbuatan yang dilakukan anaknya, kemudian mengusir Samsulbahri. Pemuda itu terpaksa kembali ke Jakarta. Sementara Sitti Nurbaya, sejak ayahnya meninggal merasa dirinya telah bebas dan tidak perlu lagi tunduk dan patuh kepada Datuk Meringgih. Sejak saat itu ia tinggal menumpang bersama salah seorang sepupunya yang bernama Aminah.

Setelah terbebas dari cengekeraman Datuk Meringgih, Sitti Nurbaya bermaksud menyusul kekasihnya ke Jakarta. Namun, akibat tipu muslihat dan akal licik Datuk Meringgih yang menuduhnya telah mencuri harta perhiasan bekas suaminya itu, Sitti Nurbaya terpaksa kembali ke Padang. Oleh karena Sitti Nurbaya tidak bersalah, akhirnya ia bebas dari tuduhan. Namun, Datuk Meringgih masih juga belum puas. Ia kemudian menyuruh seseorang untuk meracun Sitti Nurbaya. Kali ini, perbuatannya berhasil. Sitti Nurbaya meninggal karena keracunan.

Rupanya, berita kematian Sitti Nurbaya membuat sedih ibu Samsulbahri. Ia kemudian jatuh sakit, dan tidak berapa lama kemudian meninggal dunia. Berita kematian Sitti Nurbaya dan ibu Samsulbahri, sampai juga ke ke telinga Samsulbahri. Ia amat berduka atas kehilangan dua wanita yang ia kasihi. Samsulbahri menulis surat permohonan maaf kepada ayahnya, sebelum melakukan percobaan bunuh diri. Beruntung, temannya, Arifin, dapat menggagalkan tindakan nekat Samsulbahri. Berita itu sampai ke Padang. Di kota itu, Samsulbahri dikabarkan telah meninggal dunia.

Sepuluh tahun kemudian, Samsulbahri menjadi serdadu kompeni dengan pangkat letnan. Ia dikenal dengan nama Letnan Mas. Ia menjadi serdadu kompeni bukan sebab ingin mengabdi kepada kompeni, melainkan terdorong oleh rasa frustasinya mendengar orang-orang yang dicintainya telah meninggal.

Oleh karena itu, ia sempat bimbang ketika mendapat tugas harus memimpin pasukannya memadamkan pemberontakan yang terjadi di Padang. Bagaimanapun, ia tak dapat begitu saja melupakan tanah leluhurnya itu. Ternyata pemberontakan yang terjadi di Padang itu didalangi oleh Datuk Meringgih. Maka dengan perasaan penuh dendam, ia kembali ke tanah kelahirannya. Tujuannya hanya satu, menuntut balas pada datuk Meringgih.

Dalam pertempuran melawan pemberontak itu, Letnan Mas mendapat perlawanan cukup sengit. Namun, akhirnya ia berhasil memukul mundur pasukan pemberontak. Pada pertempuran itu dia akhirnya bertemu dengan musuhnya. Samsulbahri yang telah berganti nama jadi Letnan Mas, berhadap-hadapan dengan Datuk Meringgih. Letnan Mas luka parah terkena sabetan pedang Datuk Meringgih, sedang datuk Meringgih tewas tertembus timah panas dari senjata Letnan Mas.

Letnan Mas dirawat di rumah sakit, kepalanya terluka parah terkena sabetan pedang Datuk Meringgih. Ia tahu ajalnya sudah dekat, sebelum kematiannya tiba, Letnan Mas ingin bersua dengan ayahnya. Pertemuan pun terjadi. Sutan Mahmud tidak mengetahui bahwa Letnan Mas sesungguhnya adalah Samsulbahri anaknya. Letnan Mas bercerita mengenai Samsulbahri, sebelum akhirnya ia mengembuskan nafas terakhirnya.

Betapa menyesalnya ia ketika diberitahu bahwa serdadu yang baru saja meninggal itu sesungguhnya Samsulbahri, anaknya. Ia menyesal karena tak sempat meminta maaf kepada anaknya itu. Dua bulan kemudian, jenazah Sutan Mahmud dikebumikan di samping makam istrinya, Samsulbahri, Sitti Nurbaya, dan Baginda Sulaiman. Sutan Mahmud meninggal karena terlalu berduka atas kematian anak semata wayangnya.

***

Dalam khazanah sastra Indonesia, hanya Sitti Nurbaya, tokoh fiktif yang namanya paling dikenal. Nama Sitti Nurbaya menjadi simbol sebuah zaman, yaitu zaman perjodohan atau kawin paksa, di mana kaum wanita tak bisa menentukan calon suaminya sendiri. Bukan hanya itu, nama Sitti Nurbaya juga diabadikan sebagai nama sebuah jembatan di kota Padang. Bahkan tak sedikit orang yang percaya bahwa tokoh ini memang pernah ada. Ia menjelma menjadi mitos. Sedemikian hidupnya tokoh fiktif ini, sampai-sampai di Gunung Padang ada kuburannya yang sering diziarahi.

Selama ini, nasib buruk yang dialami Sitti Nurbaya sering disalahpahami sebagai akibat kawin paksa. Padahal, pernikahannya dengan Datuk Meringgih bukan akibat paksaan orang tua, melainkan atas keinginannya sendiri demi menyelamatkan ayahnya, Baginda Sulaiman, yang hendak dipenjara karena tak mampu melunasi hutang-hutangnya pada Datuk Meringgih. Bisa dikatakan, pernikahannya dengan datuk Meringgih, merupakan pengorbanan seorang anak yang mengasihi ayahnya.

Pernikahan itu terjadi sebab Baginda Sulaiman meminjam uang kepada Datuk Meringgih karena usahanya mengalami kebangkrutan; kiosnya terbakar, kapal-kapalnya karam, dan para pelanggannya meninggalkan dirinya. Ia tidak menyadari jika malapetaka yang menimpanya itu, sesungguhnya disebabkan oleh Datuk Meringgih yang tak suka dengan kesuksesan perniagaan Baginda Sulaiman. Datuk Meringgih memaksa Baginda Sulaiman memberikan Sitti Nurbaya ke tangannya sebagai ganti pembayaran hutangnya. Pernikahan Sitti Nurbaya dengan Datuk Meringgih tak lebih sebagai perniagaan.

Padahal jika ditinjau dari segi adat yang berlaku, Datuk Meringgih tak sepatutnya menikahi Sitti Nurbaya. Gelar “datuk” yang disandangnya bukan karena dia seorang bangsawan, melainkan hanya sebagai sebutan saja karena dia kaya. Di sini dapat kita lihat, bagaimana kekuatan ekonomi mampu mempengaruhi adat ketika itu. Sebaliknya, adat juga dapat dijadikan sebagai kekuatan ekonomi. Seperti yang dilakukan Sutan Hamzah, adik Sutan Mahmud, dalam kutipan berikut ini.

“Bukankah itu sekaliannya duit saja? Apabila tiap-tiap kawin beroleh uang jemputan dua ratusa tiga ratus rupiah, tak perlu ia makan gaji lagi? Kalau habis belanja, kawin lagi. Apakah salahnya dan susahnya beristri dan beranak banyak? Karena laki-laki kita tak perlu memelihara dan membelanjai anak-istrinya. Sekalian itu tanggung jawab orang lain.” (hlm. 60)

Sebagai bangsawan, Sutan Hamzah memanfaatkan kebangsa­wanannya sebagai kekuatan ekonominya. Ia menjadikan pernikahan sebagai mata pencaharian dirinya. Bahkan Sutan Hamzah mengatakan, dalam kurang pun diizinkan beristri lebih dari empat orang. Itu sebabnya ia menyesali sikap kakaknya yang menikahi perempuan biasa dan tak mau beristri banyak. Sutan Mahmud bahkan mengatakan: “Pada pikirku, hanya hewan yang banyak bininya, manusia tidak!” (hlm. 19)

Ketidaksetujuan Sutan Mahmud pada poligini—yang dalam Islam dibatasi hanya 4 istri saja—, disebabkan kondisi Minangkabau pada masa itu. Oleh kaum bangsawan, poligini dijadikan alat untuk mencari keuntungan materi sebab dalam adat Minangkabau, calon istrilah yang “membeli” seorang lelaki. Padahal dalam Islam, lelaki yang memberi mahar (maskawin) pada wanita. Selain itu, dalam adat Minangkabau, seorang anak bukan tanggung jawab ayahnya, melainkan jadi tanggungan mamak-nya (pamannya). Hal ini yang menyebabkan Ahmad Maulana, paman dari Sitti Nurbaya berpendapat:

“Sebenarnya pikirku sekali-keli tiada setuju dengan adat beristri banyak; karena terlebih banyak kejahatannya daripada kebaikannya,” kata Ahmad Maulana, sambil termenung menghembuskan asap rokoknya. “Banyak kecelakaannya yang sudah kudengar dan banyak sengsaranya yang sudah kulihat dengan mata kepalaku sendiri.” (hlm.218)


Selanjutnya, secara penjang lebar Ahmad Maulana memaparkan keburukan-keburukan poligami dalam hubunganya dengan adat Minangkabau. Masih dalam bab yang sama, kita dapat menemukan gagasan emansipasi yang dilontarkan pengarang melalui lisan Nurbaya. Perhatikan kutipan berikut ini:

“Cobalah kaupikir benar-benar, nasib kita perempuan ini! Dari Tuhan yang bersifat rahman dan rahim, kita telah dikurangkan daripada laki-laki, teman kita itu. Sengaja kukatakan teman kita laki-laki itu, karena sesungguhnyalah demikian walaupun banyak di antara mereka yang menyangka, mereka itu bukan teman, melainkan tuan kita dan kita hambanya. Pada persangkaan mereka, mereka lebih daripada kita, tentang kekuatan dan akal mereka.” (hlm. 267)


Kalimat “teman kita laki-laki” yang dilontarkan oleh Nurbaya, menunjukan pandangan Marah Rusli yang menganggap posisi kaum wanita itu sejajar dengan laki-laki. Meski ia juga mengakui ada perbedaan yang telah digariskan Tuhan. Namun, perbedaan itu tidak menjadi halangan bagi wanita untuk menjadi mitra sejajar bagi kaum laki-laki. Bukankah para wanita yang melahirkan laki-laki?

Agar wanita dapat menjadi mitra sejajar, maka pendidikan merupakan kemestian yang mutlak diperoleh kaum wanita, seperti parkataan Nurbaya di bawah ini:

“Sebab itu, haruslah perempuan itu terpelajar, supaya terjauh ia daripada bahaya, dan terpelihara anak suaminya dengan sepertinya.” (hlm. 272)

“.... Janganlah dipandangnya kita sebagai hamba atau suatu makhluk yang hina. Biarlah perempuan menuntut ilmu yang berguna baginya, biarlah ia diizinkan melihat dan mendengar segala, yang boleh menambah pengetahuannya; biarlah ia boleh mengeluarkan perasaan hatinya dan buah pikirannya, supaya dapat bertukar-tukar pikiran, untuk menajamkan otaknya. Dan berilah ia kuasa atas segala yang harus dikuasainya, agar jangan sama ia dengan boneka yang bernyawa saja.” (hlm. 277)

Perlakuan tidak adil yang dialami wanita inilah yang pada akhirnya menempatkan wanita seperti yang dikatakan Nurbaya, menjadi hamba bagi laki-laki. Mereka tak diizinkan memperoleh pendidikan yang layak. Karena dalam pandangan sebagain orang tua, sekolah dapat mengubah anak perempuan menjadi jahat, seperti dalam kutipan berikut ini:

“Sungguhpun begitu, banyak juga yang asalnya dari kesalahan perempuan sendiri, maksudku kesalahan ibu. Karena kurang pikiran­nya, banyak perbuatannya yang tidak baikMisalnya dilarangnya anak perempuannya pergi ke sekolah, sebab takut anak itu menjadi jahat, karena pandai membaca dan menulis, sehingga memberi malu ....” (hlm. 272)


Sitti Nurbaya sendiri sesungguhnya termasuk kaum wanita yang terpelajar. Namun, kekuatan ekonomi Datuk Meringgih, mampu mempengaruhi adat sehingga ia jatuh ke tangan lelaki itu. Setelah kematian ayahnya, Nurbaya memang melakukan perlawanan kepada Datuk Meringgih. Ia meminta ceria dari lelaki itu dan pergi menyusul Samsulbahri. sayangnya, perlawanannya itu tak cukup menyatukan cintanya dengan Samsulbahri. Ia mati diracun oleh Datuk Meringgih.

Kematian Sitti Nurbaya itu disusul oleh kematian ibunda Samsulbahri. Setelah mendapat berita kematian dua orang yang amat dicintainya, Samsulbahri mencoba untuk bunuh diri. Namun, usahanya itu digagalkan oleh seorang temannya. Peluru yang ia tembakan ke kepala meleset sehingga ia selamat dari kematian.

Samsulbahri yang semula digambarkan serba sempurna, tiba-tiba tampil sebagai manusia yang lemah. Selain usaha bunuh diri tersebut, sebelumnya ia bahkan digambarkan bermeseraan dengan Sitti Nurbaya yang ketika itu masih menjadi istri Datuk Meringgih.

Mendengar pantun ini, tiadalah tertahan oleh Nurbaya hatinya lagi, lalu dipeluknya samsu dan diciumnya pipinya. Dibalasnya oelh Samsu cium kekasihnya itu dengan pelukan yang hasrat. Di dalam berpeluk dan bercium-ciuman itu, tiba-tiba terdengar di belakang mereka, suara Datuk Meringgih… (hlm. 198)


Tentu saja perilaku itu bertentangan dengan adat dan norma yang berlaku ketika itu. Mengapa tokoh yang semula digambarkan serba sempurna itu tiba-tiba melakukan perbuatan yang demikian? Agaknya, Marah Rusli hendak menunjukan kepada kita dampak buruk dari dampak pendidikan ala Barat.

Sementara itu, tokoh Datuk Meringgih yang semula digambarkan serba jahat, tiba-tiba tampil sebagai pahlawan bagi masyarakatnya dalam peristiwa belasting. Ia menggalang kekuatan untuk melawan kesewenang-wenangan Belanda yang hendak menarik pajak dari kepemilikan tanah mereka. Walaupun dalam novel itu digambarkan, perbuatan Datuk Meringgih itu lebih karena ia ingin melindungi hartanya.

Ketidak konsistenan penokohan pada kedua tokoh inilah yang membuat banyak ahli sastra menilai penokohan dalam novel ini lemah. Kondisi ini sesungguhnya tak lepas dari keterbelahan ideologi yang dialami oleh pengarangnya, Marah Rusli. Di satu sisi, ia ingin menampilkan semangat nasionalisme dalam novel itu. Namun, di sisi lain, ia tak boleh bertentangan dengan kebijakan Balai Pustaka yang sesuai dengan kebijakan pemerintah kolonial Belanda. Jadi dapat dikatakan, apa yang dilakukannya terhadap tokoh Samsulbahri dan datuk meringgih merupakan siasat agar novel ini dapat diterbitkan oleh Balai Pustaka.

Hal tersebut menjelaskan, mengapa kedua tokoh itu dimatikan oleh pengarangnya. Apabila mematikan tokoh Datuk Meringgih dan membiarkan Samsulbahri hidup, pengarang akan dipandang memenangkan penjajah. Begitu pula sebaliknya, jika Datuk Meringgih yang dibiarkan hidup, novel ini tentu tak mungkin diterbitkan Balai Pustaka, karena dipandang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah kolonial Belanda.


Gunung Sahari, 26 Juli 2010
Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

1 ulasan:

  1. Keren Mas Den!!
    Dulu ku punya novelnya (ada di tumpukan buku lama punya Bapak) sempat baca pas masi kecil (kurang dr kelas 6 SD pastinya) nah, sempat kepikiran (kecewa?mungkin rasanya gitu..lupalah..namanya jg anak SD) sama ketidakkonsistenan tokoh juga. Tapi berhubung g ada lg novelnya jd gak bs cek&ricek. Somehow ami setuju sama kesimpulan Mas Den soal 'Keterbelahan ideologi' Marah Rusli. Ya, mungkin itu alasan tepatnya.

    BalasPadam

Tinggalkan jejak sobat di sini