Cerpen Kucing Hitam dan Antisocial Personality Disorder

Esai Ciscus Handoyo
Sumber: http://ciscus-handoyo.blogspot.com

Gangguan kepribadian (personality disorder) didefinisikan sebagai pola pengalaman dan perilaku tidak wajar sehubungan dengan pikiran, perasaan, hubungan pribadi, dan pengendalian dorongan keinginan. Gangguan kepribadian dapat berasal dari unsur-unsur bawaan, namun dapat pula tidak. Yang lebih sering menjadi penyebab kemunculannya adalah gangguan yang serius dalam proses pertumbuhan dan perkembangan kepribadian. Gangguan serius yang dimaksud adalah gangguan dalam relasi anak dengan orang tuanya.


Karakter-karakter seseorang diperlihatkan oleh kepribadiannya, yakni oleh pola pikir, perasaan, dan perilaku kebiasaan yang dimilikinya. Bila orang itu tidak dapat menyesuaikan diri dengan orang lain dan cenderung antisosial, maka ia dapat didiagnosis menderita gangguan kepribadian. Orang yang menderita gangguan kepribadian mengalami suatu kehidupan yang tidak menyenangkan. Tidak mengherankan bila penderita gangguan kepribadian juga dihubungkan dengan kegagalan mencapai keberhasilan.

Dewasa ini, terdapat sepuluh macam gejala gangguan kepribadian, yang terdiri dari :Gangguan antisocial (Antisocial Personality Disorder), gangguan kepribadian antisocial atau sikap menghindar (Avoidant Personality Disorder), kondisi psikologis yang tidak stabil (Borderline Personality Disorder), gangguan pola ketergantungan kepada orang lain (Dependent Personality Disorder), sikap gemar berpura-pura (Histrionic Personality Disorder), Gangguan kepribadian yang mendewakan diri sendiri (Narcissistic Personality Disorder), Gangguan kepribadian obsesif-kompulsif (Obsessive-compulsive Personality Disorder), Gangguan kepribadian berupa rasa takut berlebihan pada sesuatu atau orang lain (Paranoid Personality Disorder), gangguan kepribadian schizoid (Skizoid Personality Disorder), gangguan kepribadian skizotipal (Schizotypal Personality Disorder).

Dari kesepuluh gangguan kepribadian di atas, dapat ditemukan kesamaan (Dr. Sam Vaknin), yaitu : sikap egois yang berwujud dalam sikap mementingkan diri sendiri dan kurang tanggung jawab pribadi yang menimbulkan sikap menyalahkan orang lain, masyarakat, serta lingkungan sekitarnya atas masalah yang menimpa mereka. Kurangnya kemampuan untuk mengambil sikap atau empati terhadap orang lain. Perilaku yang memanfaatkan atau menindas orang lain. Merasa sedih, menderita tekanan kejiwaan, dan gangguan gejolak perasaan serta ketakutan berlebih lainnya. Mudah tersinggung terhadap kelemahan mental orang lain, seperti kecenderungan untuk bersikap obsesif-kompulsif serta kena serangan panik. Pemahaman distorsif serta dangkal terhadap diri sendiri dan orang lain. Tidak sanggup untuk menyadari perilaku mereka yang tidak dapat diterima orang lain serta merusak diri sendiri atau hal-hal yang berhubungan dengan gangguan kepribadian yang mereka alami.Tidak dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat, mengubah aturan main sekehendak hati, memperkanalkan variable-variabel baru, atau mempengaruhi orang lain untuk menyesuaikan diri dengan kepentingan mereka.Tidak mengalami gangguan halusinasi, delusi, atau dalam hal berpikir.

Pada kesempatan ini, kita tidak akan membahas keseluruhan dari gangguan kepribadian dan persamaannnya di atas, namun kita akan membahas lebih detail mengenai gangguan kepribadian antisocial (Antisocial Personality Disorder / APD). Asosiasi Psikiatri Amerika (APA) mengungkapkan bahwa ciri esensial dalam APD, menunjukkan pola mudah tidak peduli dan melakukan kekerasan terhadap hak-hak orang lain yang dimulai pada masa kanak-kanak atau awal remaja dan terus berlanjut hingga dewasa. Kebohongan dan manipulasi dianggap sebagai ciri-ciri esensial dari gangguan ini. Orang yang mempunyai gangguan kepribadian antisosial kadang-kadang disebut juga “sosiopat” dan “psikopat”.

Secara umum, seseorang yang digolongkan sebagai psikopat, pandai mengambil hati. Ia memiliki rasa bangga berlebihan. Cenderung memanipulasi sesuatu. Tidak pernah menyesal atau bersalah. Tidak terpengaruh secara emosional atau ia menampilkan perasaan yang sesungguhnya tidak benar-benar mereka rasakan. Kurangnya empati terhadap orang lain. Cenderung memanfaatkan orang lain. Cenderung meledak-ledak dan memperlihatkan pengendalian yang buruk terhadap perilakunya. Cenderung bersikap kacau. Permasalahan yang mereka alami ini diawali pada awal kehidupan mereka. Tidak dapat menciptakan rencana jangka panjang yang realistis. Bersikap impulsif serta tidak bertanggung jawab. Tidak merasa bertanggung jawab atas tindakan yang mereka lakukan. Pada dasarnya, ia gemar melanggar norma-norma sosial serta apa yang diharapkan orang lain terhadap diri mereka tanpa sedikitpun merasa bersalah atau menyesal guna memenuhi kehendak dan keinginan mereka.

Orang yang mengalami gangguan ini dalam menjalin hubungan tidak menampakkan suatu hubungan yang sejati di berbagai kesempatan. Hubungan akan berakhir bila sudah tidak lagi menguntungkan mereka. Mereka tampaknya memiliki bakat alami untuk mengenali kelemahan-kelemahan orang lain dan memanfaatkan kelemahan itu untuk menindas orang tersebut demi kesenangan pribadi melalui penipuan, manipulasi fakta, atau intimidasi.Tampaknya tidak memiliki emosi atau perasaan apa pun, seperti cinta atau rasa bersalah. Mereka mudah marah tetapi dengan sekejap reda amarahnya, tanpa merasakannya kembali. Tidak peduli apa yang mereka katakana mengenai perasaan mereka, maka itu tidak ada pengaruhnya terhadap tindakan atau sikap mereka pada masa mendatang.

Penderita gangguan kepribadian ini jarang dapat mempertahankan pekerjaannya dalam waktu yang lama, karena mereka mudah sekali bosan serta selalu memerlukan suasana baru. Mereka hanya hidup pada saat itu saja, dengan melupakan masa lampau dan tidak merencanakan masa depan. Mereka cenderung tidak memikirkan akibat tindakan mereka serta menghendaki ganjaran dan hadiah yang cepat.

Penderita juga gagal menyesuaikan diri dengan norma-norma sosial dengan cara hormat pada perilaku bertanggung jawab sebagaimana yang terindikasi secara berulang-ulang dalam melakukan tindakan-tindakan yang menjadi dasar untuk menangkapnya secara hukum. Penuh dengan kebohongan, yang didindikasikan dengan cara berbohong secara berulang-ulang, selalu menggunakan nama samaran, atau menggunakan orang lain demi kepentingan atau kenikmatan diri. Impulsivitas atau kegagalan dalam merencanakan. Mudah tersinggung dan agresif, sebagaimana yang terindikasikan dalam perang atau penyerangan fisik secara berulang-ulang. Sembrono dan tidak mempedulikan keselamatan diri atau orang lain. Konsisten tidak bertanggung jawab, seperti yang diindikasikan oleh kegagalan berulang dalam mempertahankan perilaku kerja yang konsisten atau menghormati kewajiban finansial. Kurangnya penyesalan mendalam, seperti yang diindikasikan pada saat mencuri, menganiaya, dan melukai orang lain yang sama kondisinya seperti tidak terjadi apa-apa.

Penderita APD sulit sekali menaati hukum. Cenderung melanggar hak-hak dan batasan-batasan orang lain. Agresif, sering berperilaku keras dan mudah sekali menggunakan kekerasan. Mudah teragitasi atau merasa depresi. Tidak mampu menoleransi kejemuan. Kurangnya penyesalan mendalam saat melukai orang lain. Bersifat impulsif, suka sekali menjuluki diri secara ekstrem.

Penderita APD hadir tentu tanpa sebab. Bowlny (1968) melihat adanya hubungan antara gangguan kepribadian antisosial dengan kurangnya kasih sayang ibu (deprivasi maternal) pada lima tahun pertama kehidupannya. Glueck (1968) melihat alasan yang patut diyakini bahwa ibu dari anak yang mengembangkan gangguan kepribadian ini biasanya tidak mendisiplinkan anak mereka dan menunjukkan sedikit kasih sayang kepada mereka. Di sisi lain Ribins menemukan sebuah insiden yang meningkat perihal karakteristik alkoholisme dalam individu yang mengalami APD.


The Black Cat (Kucing Hitam)
Edgar Allan Poe

Edgar Allan Poe (Boston, 19 Januari 1809 – Baltimore, 7 Oktober 1849) merupakan penulis prosa dan syair. Ibunya, seorang aktris, meninggal ketika ia masih kecil (1811), kemudian diadopsi oleh seorang eksportir tembakau yang kaya, John Allan. 1815 – 1820, mereka tinggal di Inggris. Sesudah itu, Poe belajar di Richmond dan Universitas Virginia. Masuk akademi militer di West Point selama beberapa waktu, kemudian dikeluarkan karena pelanggaran tertib militer. Dalam keadaan ditelantarkan oleh Allan, Poe mencoba mencari nafkah sendiri sebagai wartawan. Di tahun 1827 dengan ongkos sendiri diterbitkan beberapa berkas syairnya yang pertama, Tamerlane, dengan memakai nama samaran A. Bostonian. 1833 memenangkan hadiah melalui cerita M.S. Found in a bottle, sehingga diangkat sebagai redaktur Southern Literary Messenger. 1836 kawin dengan Virginia, anak bibinya (sepupu) yang pada saat itu berumur 13 tahun.

Poe muncul dalam dunia sastra romantik sebagai sosok yang menyuarakan potret gangguan kepribadian pada setiap tokohnya. Karya-karyanya bukan melulu mengusung nilai-nilai cerita, melainkan mengekspresikan sensibilitas terdalam dari rasa takut. Salah satu karyanya yang monumental adalah cerpen The Black Cat, yang ditulisnya pada tahun 1845. Tokoh “Aku” dalam Kucing Hitam memperlihatkan sebuah gejala antisocial personality disorder (APD). Oleh sebab itu, saya mencoba menemukan titik-titik refleksi dari antisocial personality disorder (APD) yang terjadi pada tokoh “Aku”.

“Aku” Di Masa Lalu

“Sedari kecil aku terkenal suka menurut dan berprikemanusiaan. Kelembutan hatiku ini amat kentara hingga aku sering diperolok-olokkan teman-temanku.”

Kepribadian seseorang merupakan paduan dari unsur-unsur bawaan yang ditentukan secara genetik, dan proses pembentukan secara sosial dalam menjalani kehidupan. Pembentukan kepribadian terjadi melalui suatu proses yang panjang. Dapat dikatakan bahwa dalam hal ini, penyebab munculnya gangguan kepribadian tokoh “Aku”ada pada masa lalunya.

Permasalahan yang dialami penderita APD diawali pada awal kehidupan mereka. “Aku” selalu bermain dengan binatang-binatang kesayangan yang diberikan oleh orang tuanya. Hampir di setiap waktunya, ia habiskan untuk bermain dengan binatang-binatang tersebut. Hal ini memperlihatkan bahwa telah terjadi deprivasi maternal, yaitu kurangnya kasih sayang ibu. Sang ibu tidak mendisiplinkan dirinya dan menunjukkan sedikit kasih sayang kepadanya. Akibatnya dinamika hubungan sosialnya menjadi berkurang.

“Sedari kecil aku terkenal suka menurut dan berprikemanusiaan. Kelembutan hatiku ini amat kentara hingga aku sering diperolok-olokkan teman-temanku. Aku terutama menggemari binatang-binatang dan orang tuaku mengijinkan aku memelihara berbagai binatang di rumah. Bersama merekalah kuhabiskan sebagai besar waktuku. Aku tak pernah merasa lebih bahagia kalau tidak memberi makan serta mengelus-elus mereka. Tabiat ini tumbuh bersama umurku. Maka setelah dewasa kudapatkan daripadanya salah satu sumber terbesar dari kesenanganku. Pada siapa yang pernah menyayangi anjing yang setia lagi pintar, tak perlu aku terangkan betapa mendalam dan mesranya kepuasan yang didapat dengan begitu.”


Penggalan isi hati “Aku” di atas sudah cukup menggambarkan masa lalunya yang mengalami ketidakseimbangan jiwa. “Bersama merekalah kuhabiskan sebagaian besar waktuku”, memperlihatkan bahwa “Aku” tidak cukup diperhatikan oleh orang tua dan teman-temannya. Salah satu yang menyebabkan ”Aku” tidak mampu untuk berinteraksi sosial adalah sifat kelembutan hatinya yang berlebihan. Sifat itulah yang menyebabkan dirinya menjadi pemalu.

Seseorang yang merasa dirinya gagal atau tidak dapat berinteraksi dengan orang lain cenderung berusaha untuk menjauh dan menghindar dari teman-teman sebaya dan juga lingkungan sosialnya. Kecenderungan untuk menjauh dan menghindar ini pada umumnya dialami oleh seseorang yang pemalu (shyness). Shyness dalam Encyclopedia of Mental Health merupakan suatu perasaan gelisah atau mengalami hambatan dalam suatu situasi hubungan antar-perseorangan yang mengganggu hubungan interpersonal maupun tujuan seseorang (Henderson, dkk., n.d.). Shyness juga dapat berubah dari kekakuan sosial menengah (mild social awkwardness) hingga fobia sosial yang menghambat secara penuh (Henderson, dkk., n.d.).

Florence (2004 : 5) mengungkapkan salah satu sifat kepribadian yang mempengaruhi individu untuk berkomunikasi adalah shyness (sifat pemalu). Shyness merupakan fenomena umum yang terbukti dapat menghambat individu untuk berkomunikasi dalam interaksi sosial. Shyness yang menetap secara terus menerus dalam diri pribadi juga bisa bertumbuh menjadi fobia sosial yang dapat menghambat individu untuk berinteraksi sosial. Lebih lanjut, Florence (2004 : 33) mengatakan bahwa di dalam perkembangannya, shyness memiliki karakteristik sebagai berikut : (1) kecemasan atau kepercayaan diri yang kurang saat di tengah-tengah orang banyak. (2) Kesulitan untuk memikirkan topik yang akan dibicarakan. (3) Kurangnya pengetahuan untuk berperilaku yang sesuai dengan beragamnya situasi sosial yang ada. (4) Tidak memiliki kesopanan dalam berbicara, misalnya kontak mata yang baik, senyuman, postur tubuh yang santai dsb.

Carducci (2003) yang menyatakan bahwa penyebab utama dari shyness yang mereka alami dipengaruhi oleh keluarga terutama dalam hal ini adalah orang tua, karena seorang anak mulai berlatih kemampuan sosial dari keluarga mereka terlebih dahulu. Keluarga khususnya orang tua akan mengajari seorang anak mengenai keterampilan sosial dan keterampilan hidup yang nantinya akan berpengaruh terhadap harga dirinya secara umum sebagai makhluk sosial.

“Aku” sulit mengungkapkan perasaannya. Ia tidak memiliki kepercayaan diri kuat untuk bersosial. Pada akhirnya, ada sebuah perasaan inferior pada dirinya, yaitu sebuah perasaan kurang harga diri karena memiliki kekurangan dibandingkan dengan orang-orang lain. “Aku” dipengaruhi oleh dunia subyektif, yaitu dunia di dalam dirinya sendiri. Orientasi “Aku” terutama tertuju ke dalam, yaitu pikiran, perasaan serta tindakan-tindakannya ditentukan oleh faktor-faktor subjektif. Penyesuaiannya dengan dunia luar kurang baik. Jiwa “Aku” tertutup, sulit bergaul, sulit berhubungan dengan orang lain dan kurang dapat menarik hati orang lain. Di sisi lain dunia objektif “Aku” sudah sedikit jauh, sehingga ia lepas dari dunia objektifnya. Hasrat dan keinginannya terganjal oleh realita, kemudian ia lari ke ”dunia lain” yang akan memuaskan keinginannya yang terhalang. Dunia lain inilah yang bisa dibilang dunia bersama binatang-binatang.

Dunia binatang menjadi pelariannya karena ia merasa ”ditolak” oleh dunia, oleh orang tua dan teman-temannya. Ia pun bisa menyimpulkan bahwa ”Dalam cinta binatang yang rela dan suka berkorban ini, ada sesuatu yang langsung merasuk ke hati seseorang yang kerapkali untuk menguji persahabatan kerdil atau ketaatan kabur yang dihasilkan oleh manusia”. Dari situ, bisa dilihat bahwa menurutnya, rasa cinta dan kasih yang dimiliki oleh binatang lebih hebat daripada yang dimiliki manusia. Berasal dari masa lalu inilah, bisa dilihat ketidakseimbangan tokoh “Aku” di kehidupan berikutnya.

“Aku kawin selagi muda, dan beruntung bahwa istri (suami) ku mempunyai kesukaan yang serasi dengan caraku bersenang-senang. Sekali paham akan kegemaranku, ia pergunakan kesempatan guna membeli piaraan yang indah-indah. Kami mempunyai burung, ikan mas, anjing yang bagus, kelinci, monyet kecil dan…seekor kucing!....

… PLUTO, demikian nama kucing itu-adalah temanku bermain-main yang paling kusayangi. Hanya akulah yang memberinya makan. Diikutinya kemana saja aku pergi. Di rumah, di halaman, bahkan dengan susah payah kucegah dia mengikutiku di jalanan.”


Masa lalu tentu juga berpengaruh pada hubungan pernikahan. Faktor penting untuk menciptakan intimacy (keintiman) yang tinggi sangat dipengaruhi oleh bagaimana pasangan menjalin komunikasi di antara mereka. Hal ini disebabkan karena dengan berkomunikasi, pasangan dapat mengekspresikan emosi dan diri mereka. Komunikasi dapat untuk membantu masing-masing individu untuk memhami pasangannya dan mengembangkan intimacy yang mereka miliki (Nevid, 1993). Namun yang terjadi dalam kisah ini, ”Aku” memiliki shyness yang tinggi, oleh sebab itu komunikasi antara dirinya dan istrinya tidak terjalin dengan sebagaimana adanya. Kata ”beruntung” sudah menjelaskan bahwa yang lebih dipentingkan dalam hubungan itu bukanlah intimacy di antara keduanya, melainkan hobi yang sama, yaitu persoalan binatang kesayangan.

Zimbardo (1996) mengungkapkan individu yang shyness sulit mengkomunikasikan kecemasan-kecemasan yang mereka miliki karena mereka sendiri menganggap remeh kemampuan mereka dalam menghadapi lingkungan sosial, dan pada akhirnya shyness yang mereka miliki ini menjadi alasan kuat untuk tidak mencoba membuka diri mereka terhadap pasangannya. Akibatnya, saat berinteraksi dengan pasangan mereka, individu-individu yang memiliki shyness tinggi ini lebih mengingat respon negatif dan deskripsi negatif, yang mereka dapatkan dari pasangannya dibandingkan dengan individu-individu yang memiliki shyness rendah. Jadi, “Aku” jelas tidak memiliki hubungan yang baik dengan istrinya karena rasa pemalu yang tinggi yang dimilikinya. Ia lebih suka menarik diri dari realita dan menghabiskan waktunya bermain dengan Pluto, kucing kesayangannya dan binatang lainnya.

Kata tabiat dalam “Tabiat ini tumbuh bersama umurku”, lebih tepat diganti dengan ‘keganjilan’. Dalam versi aslinya adalah This peculiarity of character grew with my growth. Peculiarity memiliki arti keganjilan, sifat yang aneh, keanehan. “Aku” menjelaskan bahwa sifat pemalu dan kecintaan yang berlebihan inilah menjadi keganjilan dan keanehan yang mempengaruhi masa-masa hidupnya. Keganjilan inilah yang menjadi permasalahan utama dalam pembentukan kepribadian “Aku” yang pada akhirnya menjadi sebuah personality disorder atau gangguan kepribadian.

Tokoh “Aku” terjebak dalam kehidupan masa lalunya yang suram. Suram dalam hal ini ialah terjadi hubungan yang disharmonis kepada orang tuannya. Perkembangan hati-nurani, atau superego, tergantung dari hubungan kasih sayang dengan seorang dewasa selama masa kanak-kanak. Anak-anak normal menginternalisasi / menghayati nilai-nilai yang ada pada orang tuanya (yang biasanya mencerminkan nilai-nilai masyarakat) karena mereka ingin seperti orang tuannya dan takut kehilangan cinta orang tuannya bila mereka tidak berperilaku menurut nilai-nilai tersebut. Seorang anak yang tidak menerima cinta kedua orang tuanya tidak pernah takut kehilangan cinta tersebut. Dia tidak mengidentifikasi orang yang tidak menyayangi dan tidak menginternalisasi nilai-nilainya.

Orang yang berkepribadian antisocial tampaknya hanya sedikit sekali mempunyai rasa tanggung jawab, moralitas, atau perhatian kepada orang lain. Perilaku mereka hamper seluruhnya ditentukan oleh kepentingan mereka sendiri. Dengan kata lain, mereka tidak berhati nurani. Orang berkepribadian ini jarang memperhatikan kemauan lain kecuali kemauannya sendiri. Mereka berperilaku impulsif, mencari kepuasan segera dari keinginannya, dan tidak dapat menahan frustrasi.


Alkoholisme

“Selama itu-kuaikui dengan malu-tabiatku mengalami perubahan dasar ke arah yang buruk disebabkan oleh kegemaranku pada minuman keras”.

Para peneliti menemukan sebuah insiden yang meningkat perihal karakteristik alkoholisme dalam individu yang mengalami APD. Nevid (2003 : 10) mengatakan bahwa alkoholisme adalah ketergantungan kepada alkohol. Para peneliti menilai bahwa ada kecenderungan turunan pada alkoholisme. Menurut perspektif medis, alkoholisme adalah penyakit. Atkinson dkk, dalam Jellinek (1960) yakin bahwa alkoholisme adalah kondisi permanen dan tidak dapat disembuhkan. Penggunaan alkohol, salah satunya adalah untuk menghilangkan kecemasan. Alkohol adalah penguat yang ampuh untuk mengurangi ketegangan. Namun, dari kesemuanya itu yang menjadi titik perhatian adalah bahwa Alkoholisme adalah sebuah penyakit yang mempengaruhi bukan hanya korban tetapi seluruh keluarga juga.

Tokoh tidak memiliki konsep diri yang positif, ditambah dengan hubungan yang tidak harmonis dengan istrinya oleh sebab itu ia lari kepada alkohol. Alkohol adalah upaya untuk melarikan diri dari permasalahan hidupnya. Alkohol adalah upaya proses tidak sadar yang melindungi dirinya dari kecemasan melalui pemutarbalikkan kenyataan. Strategi ini tidak mengubah kondisi objektif bahaya dan hanya mengubah cara orang mempersepsi atau memikirkan masalah itu. Jadi, meminum alkohol melibatkan unsur penipuan diri.

Pecandu alkohol mengalami empat tahap : (1) Tahap praalkoholik. Individu minum-minum bersama-sama teman dan kadang-kadang minum agak banyak untuk meredakan ketegangan dan melupakan masalahnya. Makin banyak makin menjadi lebih sering, dan pada saat-saat kemelut, orang tersebut minum makin banyak lagi untuk mendapatkan pengaruh alkohol yang membantu. (2) tahap prodromal. Minum cara sembunyi-sembunyi dimana orang tersebut tetap sadar dan relatif masih koheren tetapi tidak lagi dapat mengingat kejadian-kejadian. (3) tahap gawat. Semua kendali hilang. Pergaulan sosial memburuk, dan minum menjadi terang-terangan. (4) Tahap kronis. Minum-minuman keras tidak pernah berhenti; individu ini hanya hidup untuk minum. Tubuhnya telah menjadi begitu terbiasa dengan alkohol sehingga orang tersebut dapat menderita gejala-gejala penarikan diri tanpa alkohol. Orang ini tidak lagi memperhatikan penampilan fisik, harga diri, keluarga, teman-teman, dan status sosialnya.

“Selama itu-kuakui dengan malu-tabiatku mengalami perubahan dasar ke arah yang buruk disebabkan oleh kegemaranku pada minuman keras. Hari demi hari aku bertambah murung, lekas marah dan makin kurang memperhatikan perasaan orang lain. Tak segan-segan lagi aku memakai kata-kata pedas pada isteriku. Akhirnya aku memukulnya ! Dengan sendirinya buah piaraanku ikut menderita oleh tabiatku yang berubah ini. Aku tidak hanya melalaikan mereka, tapi juga menyiksa mereka. Cuma PLUTO lah yang kupandang tak amat pantas untuk disakiti. Tapi aku tak segan-segan menganiaya kelinci, monyet, bahkan si anjing apabila mereka secara kebetulan atau karena patuh tiba di dekat kakiku. Penyakitku ini kian lama kian hebat. Alangkah jahatnya alkohol itu. Maka akhirnya, akhirnya PLUTO sendiri yang kini menjadi tua dan karena itu agak lekas tersinggung. PLUTO sendiri mengalami kejahatanku.”


Usaha penipuan terhadap dirinya sampai ke pada tahap reaksi menyerang atau menyakiti (Aggressive Reactions). “Aku” menyerang penghalang yang menghambat dirinya atau menyerang sasaran pengganti penghalang. Pertama yang ia lakukan ialah mencari kambing hitam (Displaced aggression). Ia mengalami kecemasan dan tidak dapat mengekspresikan agresinya terhadap sumber yang sebenarnya adalah dirinya dan masa lalunya. Ia tidak tahu lagi harus berbuat apa dan tidak tahu apa yang diserang, tetapi dia marah dan mencari sesuatu untuk diserang. Jadi displaced aggression adalah sebuah tindakan agresif yang diarahkan pada orang atau objek yang tidak bersalah dan tidak pada penyebab kecemasan yang sebenarnya. Hal ini bisa disebabkan karena ada perasaan tidak berani untuk mengungkapkan kemarahan secara langsung terhadap sumber penyebab, sehingga ia merasa lega dengan mencurahkannya kepada orang lain yang dipandang lemah. Ia mengkambinghitamkan binatang-binatangnya. Kedua, setelah mencari kambing hitam, tokoh “Aku” marah tanpa pandang bulu (Free-floating anger). Di mana kemarahan atau rasa permusuhannya diungkapkan secara digeneralisir (tidak pandang bulu) meski terhadap suasana yang netral.

Sumber permasalahan “Aku” adalah dirinya sendiri beserta masa lalunya yang suram. Masa lalu ditolak oleh orang tua dan sifat pemalunya yang berkepanjangan. Ia tidak bisa mengatasi permasalahan dirinya. Ia mencari pelarian, menipu diri dan akhirnya menyakiti binatang dan istrinya yang sebenarnya bukanlah sumber masalah yang dimaksud. Alkoholisme hanyalah pelarian yang kemudian menyebabkan pelarian diri lain yang semakin terbuka. Hal ini sudah semakin tidak lagi proposional dan menyebabkan ia gelap mata (blind rage).

Pemahamannya menjadi distorsif serta dangkal terhadap diri sendiri dan orang lain. Tidak sanggup lagi untuk menyadari perilakunya. Mengingat ucapan Asosiasi Psikiatri Amerika (APA) bahwa ciri esensial dalam APD, menunjukkan pola mudah melakukan kekerasan terhadap hak-hak orang lain. Ia terus memanipulasi dirinya sendiri. Ia meledak-ledak dan kacau untuk mengendalikan perilakunya.

“Pada suatu malam, tatkala aku pulang dengan sangat mabuk dari salah satu warung anggur dalam kota yang sering kukunjungi, aku mengira kalau kucing itu menyingkir dari aku. Kutangkap dia. Dalam ketakutannya menghadapi kegusaranku, ia telah membuat luka kecil dengan giginya pada tanganku. Keganasan iblis segera menguasai diriku. Aku lupa diri . Aku seolah-olah kehilangan diriku yang asli, maka kejahatan yang amat keji tersebab minuman keras menggetarkan tiap ototku. Dari kantung kuambil pisau dan kubuka, kupegang binatang sial itu pada kerongkongannya, maka dengan perasaan dingin saja kucungkil matanya sebelah”.


Tokoh “Aku” di beberapa kesempatan selalu melarikan diri dari realita kepada sesuatu yang bisa memuaskan hasratnya, melupakan kemelutnya, yaitu alkohol. Ia tidak pernah berhenti dalam beberapa adegan. Hidupnya lalu hanya untuk minum. Tentu, dalam hal ini tokoh ”Aku” sudah memasuki tahap kronis untuk hal kecanduan alkohol.


Pelanggaran Norma-Norma

“Ketika esok harinya aku siuman dan kesadaranku pulih kembali, aku merasa setengah ngeri setengah menyesal atas kejahatanku. Tapi perasaan itu hanya lemah dan tidak tegas, pun jiwaku sendiri tidak tergerak. Sekali lagi aku berkecimpung dalam foya-foya dan segera hanyut dalam anggur, hingga lenyap segala kenangan akan kejahatanku.”

Salah satu ciri dari APD adalah kurangnya rasa penyesalan (lack of remorse). Hal ini terlihat setelah melakukan aksi membabi butanya. Kurangnya rasa penyesalan ditunjukan juga sampai akhir ia divonis mati oleh pengadilan. Ia merasionalisasi pikiran-pikiran gila dengan mengatasnamakan perversiteit atau perverseness. Secara harafiah, perverseness diartikan sebagai kebusukan, namun dalam hal ini yang harus dilihat adalah sifat jahat dari tokoh “Aku”. Pervert berarti seorang yang sesat dan bersikap tidak wajar; merusak; menodai; menyesatkan. Perversity merupakan suka melawan dan menentang; jahat; salah; murtad; sesat; menyeleweng; perbuatan yang tidak wajar; pemutarbalikkan atas kebenaran. Namun dalam arti lain, perverseness mencoba untuk menjelaskan asal usul kejahatan di dunia.

Tapi perasaan inipun lekas tersisih oleh kesebalan. Dan sebagai puncak malapetaka, datanglah sifat perversiteit yang mempercepat keruntuhanku.. Keragaman jiwa ini tak disebut oleh filsafat. Namun aku yakin benar bahwa perversiteit ini adalah satu getaran jiwa yang terkuat, salah satu kecenderungan atau rasa asli yang tak dapat dikesimpulkan yang membentuk watak manusia. Siapakah dapat memungkiri bahwa hal itu boleh diperbuatnya? Bukankah kita ada kecondongan untuk memperkosa hukum-hukum yang tidak tertulis, justru karena kita tahu itu hukum?


“Aku” menciptakan aturan sendiri. Ia membuat dasar berdasarkan apa yang ingin ia sebut ‘hukum’. Lalu meremehkan orang jika tidak berperilaku seperti yang ia pikirkan. Ia merasionalisasikan semua jenis kegilaan. Tidak ada ahli hukum yang sepakat dengan apa yang dipikirkannya. Hal ini memperlihatkan bahwa dirinya hidup dalam dunianya sendiri yang tidak mampu ditembus oleh siapa pun juga.

“Kelak hari boleh jadi aku akan berjumpa dengan seorang pandai yang akan menafsirkan segala keanehan ini hingga terasa biasa saja. Seorang ahli pikir yang lebih tenang, lebih berakal dan jauh kurang bingung daripada aku sendiri. Dalam menghadapi peristiwa yang kututurkan dengan tanpa senang hati ini, barangkali ia tidak akan melihat suatu apa-apa, selain serentetan sebab akibat yang sudah fitri.”


Perversiteit dijadikan tumbal. Perversiteit dijadikan alat untuk meringankan hukumannya. Perversiteit dijadikan dasar untuk hukumannya diringankan. Manusia dilahirkan untuk berdosa. Inilah yang ingin disuarakan oleh “Aku”.


“Sudah kusebut tadi bahwa sifat perversiteit inilah yang mempercepat kerruntuhanku, hasrat jiwa yang tak terajuk untuk meyiksa diri inilah yang memperkosa fitratnya sendiri untuk berbuat dosa. Hasrat ini mendorong aku untuk melanjutkan penganiayaan atas hewan yang tak bersalah itu dan akhirnya membunuhnya.”


Saya mencoba menyaring maksud dari “Aku” ketika “membunuh itu tidak dikatakan salah”:

Nyaris tidak ada yang melakukan dengan cara Tuhan sejak dunia dimulai. Adam dan Hawa saksinya dan sejarah membuktikan itu. Pasukan perdamaian pun terpaksa gunakan kekerasan untuk membujuk orang untuk hentikan penderitaan. Jika manusia tidak menginginkan perang, tentu sudah tidak ada perang dari dulu. Tapi sampai hari ini pun, masih saja ada perang. Dan memang, manusia itu ingin berperang.

Kekerasan itu “ada” dalam benak manusia, siapa pun itu. Dan membunuh adalah bagian dari itu semua. Membunuh tidaklah salah, karena kalau membunuh itu “salah” berarti tidak akan ada perang. Tidak juga sesuai dengan norma “hukuman mati” yang ditimpakan pada dirinya. Lalu, apa definisi membunuh itu ketika hukuman mati pun diperbolehkan? Lalu bagaimana jika seseorang yang telah dirampok membunuh perampoknya sebagai usaha membela diri. Terhukumkah ia atas nama membela diri? Adakah situasi tertentu dimana membunuh dan kekejaman dianggap tidak salah?

Menurutnya mengubah istilah tidak mengubah tindakan itu sendiri, tapi hanya untuk membenarkannya saja. Membunuh tetap membunuh. Jika membunuh salah lalu bagaimana dengan hukuman mati yang ditimpakan padanya? “Aku” tidak melakukan apa pun yang salah. “Aku” melakukan yang harus dilakukan. Ia tidak melukai siapa pun, tapi justru mengakhirinya.


Melihat analisa di atas, membuktikan bahwa ‘Aku” juga memiliki ciri dari Anti-sosial Personality Disorder yaitu gemar melanggar norma-norma sosial serta apa yang diharapkan orang lain terhadap diri mereka tanpa sedikitpun merasa bersalah atau menyesal guna memenuhi kehendak dan keinginan mereka.


Lack of Remorse (Kurangnya Rasa Penyesalan)

“Dan selama itu menyelinap dalam diriku perasaan kabur yang menyerupai penyesalan. Tapi tak serupa benar. Aku hanya sanggup bersedih atas kematian binatang itu…”

“Aku” tidak merasa bersalah dengan apa yang sudah dilakukannya. Ia telah membunuh istri dan kucingnya namun tidak menyesal. Perasaan menyesal hanya lemah dan tidak tegas.

“Ketika esok harinya aku siuman dan kesadaranku pulih kembali, aku merasa setengah ngeri setengah menyesal atas kejahatanku. Tapi perasaan itu hanya lemah dan tidak tegas, pun jiwaku sendiri tidak tergerak. Sekali lagi aku berkecimpung dalam foya-foya dan segera hanyut dalam anggur, hingga lenyap segala kenangan akan kejahatanku.”


Dua ciri kepribadian antisosial adalah tidak dapat menahan frustrasi dan pengakuan dengan bersikap manis serta tampak menyesal dapat menghapus kesalahan (Atkinson). Teori yang dikemukaan ini semakin memperjelas bahwa “Aku” memang memiliki sifat manipulatif, seakan-akan ia menyesal. Dapat menghapus kesalahan namun pada nyatanya adalah “tidak”.

Di beberapa kesempatan, “Aku” memperlihatkan tanda-tanda penyesalan, namun bisa dilihat bahwa salah satu cirri dari kerpibadian antisocial adalah sifat manipulatif. Hal itu bukanlah hal yang sebenarnya terjadi. Hanya seakan-akan menyesal tapi tidaklah demikian. Bisa dilihat dalam beberapa ucapannya :

“…aku merasa setengah ngeri setengah menyesal atas kejahatanku. Tapi perasaan itu hanya lemah dan tidak tegas, pun jiwaku sendiri tidak tergerak…”

“Meskipun uraian tentang peristiwa ajaib itu diterima oleh akalku dan bahkan mungkin pula memuaskan hati nuraniku, namun tak luput meninggalkan kesan yang mendalam pada daya khayalku. Berbulan-bulan kucing itu tak lepas-lepas dari ingatanku. Dan selama itu menyelinap dalam diriku perasaan kabur yang menyerupai penyesalan. Tapi tak serupa benar. Aku hanya sanggup bersedih atas kematian binatang itu…”

“Berdikit-dikitnya perasaan-perasaan terganggu dan memuakkan ini memuncak sampai pada kebencian yang berkobar-kobar. Aku singkirkan binatang itu. Namun sejenis perasaan malu ditambah kenangan akan kekejamanku dulu mencegahku untuk menganiaya dia.”

“Nyaris aku malu mengakui ini. Ya, bahkan dalam sel untuk hukuman mati ini aku merasa malu mengakui.”

“Selama itu-kuakui dengan malu-tabiatku mengalami perubahan dasar ke arah yang buruk disebabkan oleh kegemaranku pada minuman keras.”


Dari beberapa ucapannya di atas dapat ditemukan beberapa kemiripan dari bentuk manipulatifnya tentang rasa penyesalan. Kata “malu” disebutkan beberapa kali untuk menutupi perasaan sesungguhnya. “Malu” adalah perasaan sangat tidak enak hati (hina, rendah, dsb) karena berbuat sesuatu yg kurang baik (kurang benar, berbeda dng kebiasaan, mempunyai cacat atau kekurangan, dsb). Hal itu tidaklah seperti yang disuarakan oleh hatinya. Itu adalah bentuk manipulatif perasaan penyesalan.

Ciri-ciri kepribadian antisosial adalah sangat mudah berbohong. Orang-orang ini biasanya menarik, cerdas dan cukup lihai untuk mengelabui orang lain. Bila tertangkap, pengakuan dan penyesalannya begitu meyakinkan sehingga seringkali terhindar dari hukuman dan mendapatkan kesempatan. Ciri-ciri ini bisa dilihat dalam beberapa ucapan di atas. Apa yang dikatakan oleh tokoh “Aku” hampir tidak ada kaitannya dengan apa yang dirasakan atau dilakukan.

Dua ciri yang paling umum dari gangguan kepribadian antisosial adalah “ketiadaan rasa cinta” (= tidak mampu merasa empati, atau setia pada orang lain) dan “ketiadaan rasa bersalah” (= tidak merasa sesal atas tindakannya, walau tindakannya tersebut sangat tercela.

‘Ketiadaan rasa cinta’ menjadi salah satu ciri dalam kepribadian tokoh “Aku”. Lalu bagaimana dengan kucing yang sangat ia sayangi. Lalu istri yang juga menjadi bagian dari hidupnya. Telah dikatakan pada sebelumnya bahwa “Aku” hidup dalam dunianya sendiri. “Aku” di masa muda terus menarik diri dari sosial. Ia dingin secara emosional dan konsisten untuk memilih aktivitas-aktivitas yang menyendiri. Fromn (2002:260) menjelaskan bahwa ‘benci terhadap diri sendiri’ disembunyikan dengan berbagai cara. Salah satu ekspresi membenci diri sendiri yang paling sering dijumpai adalah perasaan inferioritas dalam bermayarakat. Pada dasarnya, orang-orang ini tidak merasa membenci diri sendiri; apa yang mereka rasakan hanyalah merasa rendah diri karena merasa bodoh, tidak atraktif, atau memiliki sesuatu yang tidak dapat dibanggakan.

Tujuan akhir dari kebencian ialah penghancuran di luar objek dirinya sendiri. Dengan menghancurkan, berarti manusia memperoleh kekuatan dalam batas-batas relatif, bukan absolut (Formn, 2002:255). “Aku” membenci dirinya sendiri. Ia menekan. Ia merepresi perasaan inferior yang hadir dalam dirinya. Benci karena tidak ada yang memperhatikannya. Benci karena dunia membuangnya. Perasaan tentang tidak mengetahui jawaban ini semakin menambah luka yang dialami. Luka tersebut menjadi dandanannya, menjadi pesona diri. Luka ini menggerogoti dirinya dan pada akhirnya – luka telah menjadi ‘dirinya sendiri’.

Luka ini menjadi tajam, menjadi krusial dalam situasi konflik kejiwaannya. Luka ini terpaksa ia tekan. Harus ditekan. Lari darinya dan berpura-pura untuk menghindari konflik-konflik batin. Namun, luka yang ia tekan (represi) merupakan sebuah pelarian diri. Kepura-puraan, penarikan diri dari realitas. Dan apa yang ditekan itu tidak hilang, melainkan tertinggal dalam alam bawah sadar pikirannya. “Aku” habiskan waktu, habiskan tenaga untuk mengatasi lukanya itu, berusaha untuk menemukan dirinya kembali. “Aku” melakukan perjalanan panjang dalam batinnya tanpa mengetahui mengapa - tanpa jawaban.

Jawaban itu menurutnya ditemukan dalam jati diri kucing hitam. Namun pada dasarnya, kucing hitam hanyalah pelarian dari kebenciannya pada diri sendiri. Kucing adalah kompensasi. Kucing hanyalah tipuan diri. Kucing hanyalah kebohongan diri. Cinta kepada kucing hanyalah manipulasi diri. Manipulasi dari kebencian terhadap dirinya sendiri. Kebencian karena tak kunjung menemukan jawaban atas dirinya sendiri. Kebencian akan luka yang terlanjur sudah melekat. Oleh sebab itu, Pluto dan kucing yang mirip dengan Pluto patut dihancurkan.

Benci dan cinta adalah dua emosi. Ini bagai ujung yang berlawanan dari kutub dalam jiwa. Kedua titik ini mempengaruhi kehidupan manusia. Setiap pikiran manusia, dan setiap tindakan manusia didasarkan pada entah cinta atau rasa benci. Cinta ialah lawan dari kebencian. Benci adalah energi yang menghancurkan, menutup, bersembunyi, mencelakakan. Cinta adalah energi yang meluaskan, membagi, membuka, dan menyembuhkan. Namun, bagaimana hal ini bisa terjadi dalam diri “Aku”?

Dicintai adalah kebutuhan dasar manusia yang tidak “Aku” dapatkan dari orang tua dan teman-temannya. Oleh sebab itu, ia terus mencari kebutuhan dasar itu kepada hewan-hewan peliharaannya. Namun, ini adalah fenomena cinta semu. Ini adalah pelarian yang tentu jika lama-kelamaan dipertahankan tentu menjadi penyakit. Hewan adalah representasi dari kebenciannya karena tidak memperoleh kebutuhan dasar cinta tersebut. Dan ketika kucing tidak kunjung memberikan kebutuhan itu, lalu “Aku” layak menghancurkannya[1]. Karena sudah menjadi sifat manusia untuk mencintai lalu menghancurkan, lalu mencintai lagi apa yang menurut manusia layak dicintai. Tentu bisa kita simpulkan ketika ada seseorang yang mengatakan “I miss you but I hate you”. Bisa kita lihat ketika, kesenangannya menemukan kucing yang mirip dengan Pluto, kucing lamanya.

“Pada suatu malam, ketika aku tengah duduk dalam pondok yang terkenal buruk, perhatianku sekonyong-konyong tertarik oleh suatu benda hitam yang duduk di atas tempayan jenewer atau tuak yang merupakan perabotan terpenting dalam kamar. Aku telah bermenit-menit memandang ke atas tempayan itu. Maka heranlah aku, bahwa benda hitam itu tadi tak lebi dulu kelihat di situ. Kuhampiri dia dan kujamah. Itulah dia sesekor kucing hitam yang sangat besar, sedikit-dikitnya sebesar PLUTO, pun sangat mirip dengannya, kecuali dalam satu hal : PLUTO tak punya rambut putih sehelai pun di badannya; sedangkan pada kucing ini ada belang putih sehelaipun di badannya; sedangkan pada kucing ini ada belang putih yang menutupi hampir seluruh bilangan dadanya.”

“Waktu kuraba dia segera bangkit, mendengkur keras serta menggeser-geserkan kepalanya ke tanganku. Mahluk seperti inilah yang ingin kudapatkan!”

Mengapa “Aku” menjadi senang ketika mendapatkan kucing baru yang merupakan representasi dari masa lalunya yang suram. Ini adalah bentuk regresi dari pertahanan diri “Aku”. Regresi ialah tindakan kembali ke bentuk perilaku yang tidak matang – perilaku khas pada usia yang lebih muda. Secara tidak sadar kembali ke masa anak-anak (access to childhood). Kadang-kadang seseorang yang sedang kecemasan secara tidak sadar berupaya untuk kembali ke masa lampau yang dirasa teduh dan memberikan rasa aman. Tindakan seperti itu disebut perilaku regresif (mundur ke masa lalu). Dengan cara kembali ke masa lalu, seseorang yang kecemasan akan terbebas dari kenyataan yang menyakitkan. Inilah yang terjadi pada tokoh ”Aku”. Ia kembali ke masa kanak-kanak yang dirasakan membahagiakan bersama hewan. Namun, sekali lagi itu semuanya adalah - semu.

Kebencian itu tetaplah nyata sebagai keadaannya dulu, waktu ia masih bocah. Penggunaan represi (menekan sakit hati / luka) pada akhirnya menyebabkan keletihan emosi. “Aku” tidak mampu lagi memelihara pertahanan dirinya. Ia tak sanggup lagi membendung perasaan tertekannya. Jebolnya pertahanan atau pengendalian terhadap pikiran yang ditekan itu melepaskan emosi-emosi yang selama ini ia tekan. Perasaan-perasaan itu kemudian muncul ke permukaan.

Pada gilirannya, kucing menjadi momok menyakitkan bagi dirinya. Kucing hitam tidak memberikan jawaban atas apa yang terjadi pada dirinya sendiri. Kucing menjadi serupa dengan ‘luka’. Kucing serupa dengan konflik masa lalu, serupa konflik batin. Kucing serupa dengan dirinya sendiri. Diri yang telah ia benci. Diri yang tidak ia cintai. Diri yang masih hilang. “Aku” belum juga temukan dirinya, yang dari dulu ia harap bisa ditemukan melalui kucing. Karena itu ia menjadi benci kucing dan ingin sekali membunuhnya.

“Kucing itu mengikuti aku turun tangga hingga aku hempir tergelincir. Hal ini membuat darahku mendidih. Lupa akan ketakutan kekanak-kanakkan yang sampai kini mencegah tanganku, aku angakt setangkai kampak dan kutujukan pukulan pada binatang itu yang tentunya akan mampus seketika jika kena. Tapi pukulan itu ditahan isteri (suami)ku. Peleraian ini membuatku ngamuk lebih dari setan. Kusentakkan tanganku dari genggamannya, lalu kukubur kampakku dalam otaknya. Dia jatuh mati di tempatnya tanpa merintih.”


Ketakukan kanak-kanak adalah rasa cinta yang dulu ia temukan pada diri kucing. Ketakukan kekanak-kanakan merupakan kebutuhan dasar akan kasih sayang terhadap diri “Aku”. Dulu, kucing menjadi kebutuhan dasar cinta yang tidak ia dapatkan dari ayah ibu dan sosial. Kebutuhan dasar itu tidak menjadi penting karena ia tidak kunjung temukan siapa dirinya. Ia berbalik membenci. Benci pada masa lalunya.

“Tertekan oleh siksaan-siksaan ini, maka lenyaplah sisa-sisa kecil kebaikkan hati dalam diriku. Cuma pikiran jahat saja yang tinggal dalam diriku. Jahat lagi durhaka. Rasa tak senangku tumbuh menjadi rasa benci terhadap segala hal dan semua umat manusia. Dan oleh letupan-letupan amarahku yang tak terkendali ini serta mencengkamku hingga membabi buta, maka sayanglah yang sering menjadi korban adalah isteri (suami) ku yang sabar dan tak pernah mengeluh itu.”


Pembunuhan kepada istrinya merupakan titik klimaks dari bentuk akut kepribadiannya, yaitu “ketiadaan rasa bersalah” setelah membunuh istrinya, lalu menyembunyikan dengan ketawaran hati:

“Selesai pembunuhan keji ini, aku segera menyembunyikan mayat itu dengan ketawaran hati. Aku sadar, bahwa tak mungkin mayat itu kuangkat dari rumah siang maupun malam tanpa diketahui oleh tetangga. Lalu kukaji berbagai pertimbangan, sekali kupilir hendak mencincang mayat itu lantas membakarnya. Namun pada saat lain aku ingin menanamnya dalam lantai kolong. Kupikir lagi lebih baik membuangnya dalam sumur atau membungkusnya dalam peti serta memperlakukannya seperti barang dagangan; dan menyuruh seseorang membawanya keluar. Akhirnya aku dapatkan jalan yang paling jitu dari yang lain-lainnya. Kuputuskan akan menanamnya di tembok seperti konon dikerjakan Rahib-rahib abad pertengahan dengan korban-korban mereka.”


Kucing adalah simbol kelam masa lalu. Naluri dasar yang terlanjur rusak karena tolakan sosial. Oleh sebab itu, ia membabi buta menyingkirkan siapa saja yang menghalangi keinginannya itu. Istrinya menjadi korban. Ia membunuh istrinya. “Aku” ingin membunuh masa lalu itu. “Aku” ingin membunuh ‘dirinya sendiri’.

“Tak ada manusia yang menderita yang menderita siksaan seperti aku ini. Hanya seekor binatang tak berakal saja sudah sanggup menyebabkan aku menderita sampai berlimpah-limpah. Padahal aku seorang menusia yang terciptakan sanggup menurutii firasat Tuhan. Tak kukenal lagi kerestuan istirahat siang dan malam. Siang hari momok itu tak membiarkan aku sendiri sedetik pun. Sedangkan malamnya aku terjaga sejam demi sejam oleh mimpi-mimpi menakutkan. Lalu kurasa nafas momok itu melanggar mukaku. Tubuhnya yang berat, suatu beban lahiriah yang aku tak kuasa menangkisnya bermukim abadi dalam hatiku.”


Kucing hitam adalah diri “Aku” sendiri. Sisi lain dari dirinya sendiri. ‘Juru tenung yang menyamar’ cukup membuktikan bahwa ‘kucing’ adalah ‘Aku’ yang menyamar. Di abad pertengahan, kucing sering dianggap berasosiasi dengan penyihir dan sering dibunuh dengan dibakar atau dilempar dari tempat tinggi. Kucing hitam dianggap sial pada masa itu karena ia hewan peliharaan para penyihir. Penelitian sejarah memperlihatkan bahwa penyihir tidak disukai masyarakat karena mengandung kekuatan iblis. Kucing sebagai simbol mitos kejahatan dan kematian. Kucing bisa membawa jiwa manusia ke alam baka.

Akhirnya…

Manusia terdiri dari aku dan beberapa saya. Kejahatan adalah bagian dari dinamika kepribadian manusia. Dalam diri manusia terdapat kejahatan primitif. Dalam pandangan teologi bahwa semenjak lahir sudah membawa Dosa Asal. Doktrin ini mewajibkan semua manusia untuk merasa bersalah, merasa dosa. Namun, kadang dikatakan sebagai felix culpa, dosa yang membawa berkat.

Hobbes menganggap kodrat manusia sesungguhnya adalah seekor hewan predator, yang dipenuhi rasa permusuhan, diciptakan untuk membunuh dan merampok. Hanya dengan consensus, memasukan otoritas Negara dan agama, maka damai dapat tercipta. Opini Kant tentang kodrat manusia tidak jauh dari Hobbes, ia berpendapat adalah kodrat manusia untuk berbuat jahat.

Kejahatan menjadi bagian dalam diri manusia. “Aku” bilang tentang perversiteit. Kucing hitam adalah simbol dari perversiteit “Aku”. Kucing hitam ialah perversiteit itu sendiri. Karena dalam kucing hitam itu sesungguhnya mengandung kebencian primitif masa lalu “Aku” kepada dirinya sendiri. Dalam kucing hitam itu sebenarnya mengandung ketidakseimbangan jiwa “Aku”. Kucing hitam ialah simbol dari konflik batin “Aku” yang ingin ia hilangkan.

Setiap orang adalah pengendali budaknya sendiri. Selain menjadi budak dari “tuan” dalam dirinya, orang telah menempatkan majikan di dalamnya. Terkadang ‘tuan’ ini kasar dan kejam. Tak mengenal lagi kerestuan istirahat siang dan malam. Kadang membiarkan sendiri. Dia tidak memberikan waktu istirahat meski sebentar, dia melarang kegembiraan dan kesenangan apapun, tidak mengijinkan mereka melakukan apa yang mereka inginkan.

Kucing Hitam mempertanyakan asal usul kejahatan dalam diri manusia. Sebuah ambiguitas moral yang hadir dalam diri manusia. Jadi sebagai manusia hendaknya kita mengenal diri kita sendiri. Saya menutup kekaguman saya pada watak “Aku” (yang juga merupakan suara hati “Aku”) - dengan mengutip kata-kata Shakespheare:

“Sebenarnya aku mengetahui mengapa aku sangat sedih. Ini membosankan bagiku, kau mengatakan ini membosankan bagimu... Aku sangat sulit mengetahui diriku sendiri.”


DAFTAR PUSTAKA

Atkinson, Rita dkk (1983). Pengantar Psikologi. Jil 2. Jakarta: Erlangga. ”Edgar Allan Poe,” Ensiklopedi Indonesia, hal 2728.

Fromm, Erich (2002). Cinta, Seksualitas, Matriarki, Gender. Jogjakarta: Jalasutra

MacDonald, Peter (2009). Sehatkah Jiwa & Kepribadian Anda?. Jogjakarta : Mirza Media Pustaka.

Nevid, Jeffrey dkk ( 2003). Psikologi Abnormal. Jakarta : Erlangga.

Poduska, Bernard (2008). 4 Teori Kepribadian. Jakarta : Restu Agung.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (2003). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ke-3. Jakarta : Balai Pustaka.

Rahmania, Heny Nur (2006). Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pola Asuh Otoriter Orang Tua Dengan Kecenderungan Pemalu (Shyness) Pada Remaja Awal. Skripsi. Jakarta : Fakultas Psikologi -Atmajaya.

Singh, Kalu (2003). Seri Gagasan Psikoanalisis : Rasa Bersalah. Jogjakarta : Pohon Sukma.

Stevenson, Leslie (2001). Sepuluh Teori Hakikat Manusia. Jogjakarta : Bentang.


Footnote

[1] Pergumulan cinta dan benci, dalam kasusnya secara sangat jelas bisa dilihat pada seseorang yang mengidap sadomasokhis. Menabur sakit menuai nikmat, itulah penderita penyimpangan perilaku seks sadomasokis. Penyimpangan seksual ini merupakan gabungan antara pola perilaku seks yang sadistik dan masokistik. Ciri utama dari sadomasokis adalah munculnya nafsu birahi melalui rasa sakit.


Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini