Anjing Bangsat Babi



Membaca judul di atas, tentu Anda akan segera menyangka kalau saya tengah marah dan memaki. Apa boleh buat, ketiga hewan di atas memang sering dijadikan alat untuk memaki. Meski hingga saat ini belum pernah ditanyakan, apakah ketiganya setuju dijadikan sebagai kata makian.

Salah satu ciri bahasa adalah arbitrer atawa semena-mena. Kita tidak pernah tahu, sejak kapan hewan berkaki empat yang suka menjulurkan lidah dan menyalak itu disebut anjing. Begitu juga dengan bangsat dan babi. Seolah-olah nama itu muncul begitu saja dan kita harus menerimanya karena telah menjadi sebuah kesepakatan yang entah dibuat oleh siapa.

Menurut KBBI[1] , anjing, bangsat, dan babi merupakan kata benda. Anjing memiliki pengertian, “binatang menyusui yg biasa dipelihara untuk menjaga rumah, berburu, dsb; Canis familiaris”. Bangsat memiliki 2 pengertian, “(1) kepinding; kutu busuk dan (2) orang yang bertabiat jahat (terutama yang suka mencuri, mencopet, dsb.)”. Sedangkan babi memiliki 3 pengertian, “(1) binatang menyusui yg bermoncong panjang, berkulit tebal, dan berbulu kasar; (2) kas umpatan yg sangat kasar; (3) nama kartu kecil (kartu ceki)”.

Berdasarkan makna leksikal dalam KBBI, hanya babi yang secara tegas diberi pengertian sebagai kata makian. Sedangkan bangsat seolah besinonim dengan orang jahat. Pada kenyataannya, kata bangsat takhanya digunakan untuk memaki orang jahat (dalam KBBI dicontohkan pencuri, pencopet, dsb.). Hanya anjing yang agaknya tidak dimaknai sebagai bentuk makian. Saya sendiri tidak mengerti, mengapa Pusat Bahasa selaku penyusun KBBI tak memberikan pengertian pada kata anjing sebagai kata makian, padahal penggunaan kata itu sebagai makian takkalah popular dari bangsat dan babi.

Pertanyaannya kemudian, sejak kapankah ketiga kata itu (baca: anjing, bangsat, babi) dijadikan sebagai kata makian? Lagi-lagi saya harus mengulang pernyataan, yeah begitulah kerabitreran bahasa. Barangkali karena—dalam terminology Islam—anjing dan babi digolongkan sebagai hewan yang haram untuk dimakan? Jika demikian, kenapa kita tidak memaki dengan kata “manusia!”, bukankah manusia juga haram dimakan? Sementara itu, bangsat suka mengisap darah manusia yang berakibat pada bentol dan gatal-gatal. Boleh jadi karena aktivitas bangsat itu yang menyebabkannya dijadikan kata makian. Namun, bukankah itu merupakan mekanisme hidup yang harus dilakukannya untuk dapat hidup, seperti juga manusia yang suka makan hewan lainnya bahkan anjing dan babi?

Oleh sebab kata anjing, bangsat, dan babi sudah terlanjur disepakati sebagai kata makian, sering menjadi persosalan ketika kita harus menggunakan kata itu. Seperti sebagai judul karangan ini misalnya. Tentu saja, ketika pertama kali membaca Anda segera mengira saya tengah memaki seseorang atau sesuatu.

Bahasa tulis memang lebih sering disalahmaknai dibandingkan dengan bahasa lisan. Sebab dalam bahasa lisan, “penutur (pembicara) dapat memanfaatkan peragaan, seperti gerak tangan, air muka, tinggi rendah suara atau tekanan, untuk membantu kepahaman pengungkapan diri—ide, gagasan, pengalaman, sikap, dan rasa—, sedangkan dalam ragam bahasa tulisan peragaan itu tidak dapat digambarkan/dilambangkan denga tulisan” (Sugono, 2009:17)[2].

Kata sesungguhnya nirmakna, manusialah yang memberinya makna. Sekarang terserah Anda memaknai anjing, bangsat, dan babi dalam tulisan ini sebagai apa.

Pulokambing, 18 April 2012



[2] Mahir Berbahasa Indonesia dengan Benar. Jakarta: Gramedia, 2009
Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini