Takut

Cerpen Putu Wijaya

Lila pulang larut lagi. Aku telah menunggunya berjam-jam dengan rasa cemas yang makin membingungkan. Istriku tidak sanggup lagi melawan kantuknya. Sebelum masuk kamar ia mc­nyerahkan persoalan itu kepadaku. Barangkali ia juga sudah bosan berulang-ulang memberikan nasihat tanpa mendapat tang­gapan dari Lila.
Pukul dua malam, akhirnya sebuah sedan berhenti di depan rumah. Lila turun diikuti oleh dua orang teman lakinya. Aku segera menyalakan lampu depan dan membuka pintu. Maksudkn supaya mereka jangan lagi ngobrol di teras karena hari sudah jaiuh malam. Tapi begitu aku buka pintu, sementara angin malani langsung menggosok mukaku, kulihat Lila sedang pamitan dengan kedua kawannya.
Aku tahu betul bahwa mereka melihatku. Tapi dengan hangat sekali; dan ini membuatku tiba-tiba merasa risi dan rnalu, salah seorang kemudian memeluk dan mencium Lila. Sesudah itu yang satu lagi. Aku memalingkan muka pura-pura tak melihat. Tapi mereka tak segera masuk. Masih ada lagi beberapa perjanjian yang mereka buat. Kemudian baru Lila masuk.
Lila mengenalkan kedua kawannya kepadaku. Dengan dingin kujabat tangan mereka. Tapi aku masih menunggu beberapa lama lagi, sebelum mereka kemudian pergi. Aku menarik napas panjang. Lila masuk, membuka sepatu dan terus ke kamarnya. Aku masih sempat memandang ke halaman. Beberapa lama tercenung. Memilih apa yang sebaiknya dilakukan. Aku ingin mengharigai spontanitas. Aku tak suka dikatakan kolot. Aku tak mau dikatakan menekan anak. Tapi aku tersinggung dan malu sekali.
Perlahan-lahan aku masuk. Mematikan lampu depan. Tetapi masih belum dapat memutuskan apa-apa, sampai kudengar suara musik lamat-lamat dari kamar Lila. Aku rasa aku tak boleh mendiarnkan saja. Setidak-tidaknya untuk mengurangi bebanku sendiri. Ini barangkali yang kelimapuluh atau keseratus kalinya aku bimbang memilih sikap. Antara menganggap Lila yang masih berusia 18 tahun - sebagai anak kecil atau sebagai anak remaja yang bisa diajak berdiskusi.
Akhirnya aku masuk juga ke dalam kamar. Lila sedang berba­ring masih dalam pakaian yang tadi sambil mengisi teka-teki silang. Meskipun acuh tak acuh, aku kira ia sudah tnenduga aku akan masuk dan memberikan nasihat-nasihat lagi. Cuma mulutku tak segera ngomong. Aku hanya duduk di sisi tempat tidurnya. Lila menoleh tenang.
Ada yang nggak beres Pa?”
“Ya.”
Ia menggangguk.
“Kelihatannya Papa tidak senang.”
“Ya.”
“Karena Lila pulang larut lagi? Kan sudah ada izin tadi mau ke disko?”
Aku mengangguk.
“Memang.”
Dan tiba-tiba segalanya jadi lancar. Aku segera menumpahkan perasaanku. Beban rasanya terlalu keras menghimpitku yang setiap hari sudah cape kerja untuk menghidupkan asap dapur keluarga. Aku anggap dia telah dewasa. Aku ingin otaknya jalan dan ikut berpikir.
“Papa malu Lila. Papa jadi sulit lagi sekarang. Apa papa harus marah atau bagaimana. Papa tidak ingin kamu merasa papa tekan, merasa dibatasi. Papa ingin megajak kamu ikut memikir­kan persoalan-persoalan yang ada di sekitar dirimu. Kau kan sudah 18 tahun sekarang. Sebentar lagi jadi mahasiswi. Masak di depan papa, kamu berciuman begitu dengan teman-temanmu. Papa bukan orang kolot, atau barangkali memang kolot dalam hal ini. Tapi itu kan bukan pacar Lila. Kalau toh pacar, mengapa harus melakukan itu di depan papa?”
Lila berhenti mengisi teka-teki.
“Lila jadi tidak mengerti. Itu kan biasa, Pa.
“Berciuman dengan dua orang lelaki di depan papa, papa kira itu bukan soal biasa. Caranya dia menciummu membuat papa menjadi malu. Seakan-akan dia tidak menghiraukan kehadiran papa, padahal dia lihat. Kalau papa tidak ada, itu adalah urusan­mu. Tapi papa ada di situ, dan papa tidak kenal siapa dia, barangkali itu juga hal biasa buat kamu. Tapi kan papa tidak biasa. Mengapa papa harus melihat itu. Apa harus papa biasakan? Kalau kamu ingin melakukannya, ya jangan di depan papa, hargai papa sedikit.”
“Lho Papa mengajar Lila tidak terus terang?”
“Bukan. Papa sendiri berterus-terang sekarang. Inilah perasaan papa. Papa tidak marah, kamu jangan membela diri dulu. Coba dengarkan apa perasaan papa. Kamu boleh terima, boleh tidak.
“Tapi kamu harus tahu apa yang saya rasakan waktu kamu ciuman tadi. Lila tidak merasa papa tekan kan?”
“Tidak.”
“Nah. Yang papa rasakan adalah malu. Kalau itu cuma teman biasa, mengapa harus berciuman begitu. Semua itu menyebabkan papa jadi berpikir, bagaimana sebenarnya kamu membentuk per­sahabatan dengan kawan-kawanmu yang lelaki. Mengapa mereka berani melakukan itu di depan saya, ayah kamu, tanpa perasaan segan. Saya anggap mereka tidak sopan. Apalagi saya tidak kenal mereka. Coba apa yang harus papa lakukan?”
Lila mengeluh.
“Kalau begini saya jadi tidak mengerti deh, mau apa.”
“Lho papa tidak melarang, papa takut sekali kalau kamu mengatakan bahwa papa sudah menekanmu. Tapi kamu harus dapat merasakan perasaan papa kan? Kamu membuat papa seperti tidak punya harga diri. Saya tidak menyalahkan mereka. Kalau kamu membentuk persahabatan dengan mereka dengan pola lain, pasti mereka tidak akan berani melakukan itu di depan saya. Kecuali saya ini orang lain. Saya ini kan papa kamu?
“Udah deh, Pa, sekarang Papa katakan saja Lila harus bagai­mana.”   Aku mulai marah.
“Lila, ini bukan hanya persoalan papa. Kamu yang harus menentukan apa yang harus kamu lakukan. Papa cuma ingin mengutarakan perasaan papa dan papa ingin mendengar sebenar­nya kamu risi tidak melakukan hal-hal tadi? Atau kamu mengang­gap itu pantas? Kalau pantas, ya barangkali papa harus mulai dari sekarang membiasakannya. Bisa kok. Semuanya bisa dibiasakan asal sudah diniatkan. Masak tidak bisa? Kamu merasa risi atau tidak?”
“Saya kira itu biasa.”
Aku tertegun.
“Biasa? Lalu apa bedanya teman biasa dengan pacar. Apa kamu menganggap mereka semua pacarmu? Atau bagaimana? Papa risi kok.”
Lila menyentuh tanganku.
“Pa, saya sungguh tidak ingin menyusahkan Papa.
“Tapi kamu sudah membuat saya merasa malu seperti itu. Dan bukan sekali ini. Hanya baru sekarang papa bicara. Apa toh sulit­nya untuk membatasi sedikit pergaulan. Bukan berarti tidak boleh bergaul. Bukan berarti tidak boleh bebas bergaul. Bukan berarti tidak boleh ciuman. Kalau kamu ulang tahun dan teman-temanmu mencium kamu di depan papa, papa anggap itu sopan. Tapi ini, mereka memperlakukan kamu seperti barang mainan tanpa pera­saan segan justru di depan papa kamu sendiri. Ini kan artinya kamu sudah tidak mencoba menghargai dirimu sendiri. Apa modern itu begitu? Apa modern berarti kita boleh berciuman dengan siapa saja dan di mana saja? Papa kira modern itu tidak hanya berarti bebas berhubungan dengan lelaki. Konsep modern itu lebih luas Lila. Papa cuma minta hargai sedikit dirimu. Setidak-tidaknya jangan biarkan orang lain merendahkan dirimu di depan papa, atau di depan salah seorang keluargamu. Sebab kamu, kamu ....”
Tiba-tiba aku berhenti. Selama bicara, untuk mendapatkan konsentrasi aku memandang ke sudut lain. Sekarang aku lihat Lila sudah tertidur memeluk guling. Mulutnya menganga sedikit. Mukanya masih penuh rias. Pipi dan bibir merah. Kelopak mata biru. Ia mendengkur lunak. Tampaknya sangat lelah. Barangkali ia sudah ajojing habis-habisan. Di samping itu ia memang banyak kegiatan. Fisiknya memang membutuhkan istirahat.
Aku pandangi mukanya yang cantik. Muda dan kelihatan tidak bersalah. Tak ada kata-kata lagi yang bisa menembus kantuk itu. Ia tidur seakan-akan sedang mendengarkanku. Tapi jaraknya begitu jauh. Aku merasa sedih dan tua. Sementara itu jengkel bukan main. Tanganku gemetar. Aku ingin mengambil gelas dan membantingnya ke lantai. Barangkali itu bisa menyalurkan tenaga yang mendadak bergumpal.
Aku berdiri dan mematikan radio. Sebenarnya aku dapat me­nebarkan selimut yang masih terlipat rapi di kaki Lila. Tetapi tiba­tiba aku merasa harga diriku bangkit. Setiap malam, hampir setiap malam aku masuk ke kamarnya untuk menutup jendela yang terbuka. Atau menyalakan obat nyamuk. Atau mematikan radio yang terus terpasang sementara Lila sudah tidur. Seringkali juga aku memakaikan selimut agar is tidak masuk angin. Bahkan pernah aku membuka sepatu yang tak sempat dicopotnya.
Aku berdiri sebentar dalam kamar itu. Tiba-tiba aku marah pada diriku sendiri karena kelemahan-kelemahanku. Dan ke­lemahan itu sudah dipergunakan oleh Lila. Aku sudah kehilangan wibawa. Kalau aku berdiri lebih lama dalam kamar itu mungkin aku akan terhasut. Boleh jadi aku akan membentak. Atau sebaliknya, meraih selimut sambil membarut-barut kepalanya.
Untuk pertama kalinya aku kuat untuk tidak memilih salah satu. Perlahan-lahan aku meninggalkan kamar itu. Rasanya seper­ti meninggalkan sebuah dunia yang sedang sibuk. Untuk kembali ke duniaku. Dunia seorang lelaki berusia 40 tahun. Dunia seorang bapak. Dunia seorang manusia lain yang juga punya pribadi dan ego.
Aku kembali ke ruang depan. Membaringkan tubuh di sofa sambil memandang ke luar jendela. Kegelapan dalam ruangan agak menenangkan perasaanku. Tapi aku tetap merasa ada pisau sedang berjalan di seluruh tubuhku menuju ke kepala.
Beberapa kali aku tidur-bangun, tidur-bangun. Terakhir cahaya terang menusuk dari jendela. Aku terbangun dengan mata sepat. Hari masih pukul enam. Belum ada yang bangun, kecuali pem­bantu yang menyiapkan sarapan.
Aku berdiri dengan buku-buku tubuh ngilu. Yang pertama kuingat adalah Lila. Aku masuk ke kamarnya. Kulihat dia masih tidur, kini membelakangiku. Masih tetap kekanak-kanakan. Ingin diperhatikan, dimanjakan. Dan tanpa rasa berdosa. Lampu dalam kamar masih terang. Selimut masih terlipat rapih. Aku tak berusaha untuk membangunkan atau menyelimutinya. Meskipun aku tahu pagi itu ia ada janji jam tujuh dengan lelaki yang meng­antarkannya semalam.
Diam-diam aku berkemas untuk ke kantor. Mandi seperti sem­bunyi-sembunyi, takut akan membangunkan seisi rumah. Kalau mereka bangun aku akan terpaksa ngomong. Padahal yang paling kubutuhkan saat itu adalah diam. Aku sudah terlalu banyak bicara dan terpaksa bicara karena persoalan — bermacam-macam persoalan. Egoku memerlukan ketenangan. Aku merasa mem­butuhkan waktu untuk diriku sendiri.
Waktu sarapan—yang juga kulakukan secara diam-diam—anak istriku masih tetap tidur. Aku memakai sendok-garpu dengan hati-hati. Kemudian aku panggil Izah, pelayan keluarga kami. Aku berikan padanya uang belanja yang harus disampaikannya kepada istriku. Aku berikan juga ongkos tukang yang sudah memperbaiki dapur dan sudah dijanjikan sejak kemarin. Juga un­tuk disampaikan ke istriku. Kemudian, dengan agak berat, aku serahkan juga amplop berisi uang untuk Lila, untuk membayar uang sekolahnya.
“Tidak ada pesan apa-apa Den?” tanya Izah.
Aku menggeleng.
Aku buka pintu depan dengan hati-hati. Masih terlalu pagi un­tuk berangkat. Tapi aku harus menenangkan perasaan. Memulih­kan rasa maluku. Celakanya, begitu hendak menutupkan pintu kembali, kulihat istriku sudah berdiri di ruang depan. Agaknya sudah sejak lama memperhatikanku.
Hampir saja hendak kuterangkan dengan alasan dicari-cari, kenapa aku harus berangkat terlalu pagi. Tapi dia hanya mengang­guk. Kulihat juga matanya agak bengkak. Barangkali dia sudah menangis. Dia mendekatiku. Kemudian tanganku dipegangnya.
“Aku mengerti perasaanmu,” katanya lirih.
Aku bingung juga.
“Perasaan apa?”
Ia menggeleng sambil menepuk-nepuk tanganku. Tangannya memberi isyarat supaya aku jangan bicara.
“Aku mengerti. Kau perlu sendirian. Aku lihat kemarin. Aku ngintip dari jendela. Aku tahu.”
“Maksudmu Lila?”
“Ya.”
Aku menarik nafas panjang. Hampir saja aku berusaha mem­belokkan percakapan. Istriku memberiku isyarat lagi sambil menekan tanganku lebih keras.
“Aku melihat Lila melakukan itu. Tapi aku, terutama melihat­mu. Aku dapat merasakan perasaanmu!” Aku hendak menjawab, tapi ia segera memotong.
“Sudah, pergi saja ke kantor dulu. Aku paham, sejak kamu mandi dan sarapan tadi. Bahkan semalam aku sempat meletakkan bantal di bawah kepalamu. Aku tahu dan mengerti, kamu perlu sendirian. Mungkin kamu akan dapat jawaban, bagaimana sebaiknya menerima semua ini. Pergilah. Kalau bisa ngobrol dengan teman-teman dekatmu. Nanti Siang tak usah pulang. Makanlah di luar dengan sahabatmu, supaya perasaanmu pulih. Sudah itu coba nonton bioskop. Ada film Chen Lung yang baik. Kalau masih perlu cari Rahmat, ajak dia kemari menemanimu. Kau sudah bekerja keras sekali untuk kami semua. Kamu perlu merawat perasaan-perasaanmu.”
Aku terpesona.
“Kau tahu semua itu?”
Ia mengangguk.
“Semua perasaan-perasaanku?!”
“Ya,” katanya lirih. “Aku kan istrimu. Siapa lagi yang dapat mengerti kalau bukan aku?”
Ia tak dapat menyembunyikan perasaannya. Air matanya menetes. Aku jadi terharu. Aku ingin membawanya masuk, tapi ia segera memberi isyarat.
“Aku tak apa-apa. Aku terharu pada perasaanmu yang sekarang tertekan. Pergilah dulu.”
Kata-katanya kedengaran sangat jujur. Lagipula masak aku tidak tahu kapan dia bersungguh-sungguh, kapan tidak. Aku kan suaminya.
“Pergilah.”
Aku mengangguk. Sambil memegang tas, aku melangkah ke­luar rumah untuk mencari Bajaj. Tapi aku masih ingat pada Lila. Masih melekat rasa malu, panas dan kebingungan ketika berdiri di depan pintu semalam, sementara dia berciuman dengan teman­temannya. Perasaan itu seakan-akan mulai hendak diusir oleh perasaan yang kuperoleh di depan istriku tadi. Masih ada seorang yang benar-benar berusaha memperhatikan perasaanku yang sudah digenjot oleh anakku sendiri.
Akhirnya, aku berhenti di pinggir jalan menunggu Bajaj.
Dan itu pula akhir dari segala jawabanku, sementara ini. Akhir dari segala pertanyaan yang harus kujawab. Mengapa aku takut punya anak. Karena aku takut menghadapi Lila, sebagaimana yang sudah dihadapi oleh teman-temanku yang sudah ber­keluarga. Dan mengapa aku belum kawin-kawin juga? Takut tidak akan menemukan seorang istri, yang dapat mengerti perasaan-­perasaanku manakala sedang tergencet.

Jakarta, 16 Mei 1980


Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini