Sekolah Vs Bimbel

Esai Denny Prabawa

Naik Kelas by Arini
Ketika menjadi juri lomba menulis cerpen dan puisi di SMK Citra Negara, saya berbincang dengan seorang guru bahasa Indonesia. Dari perbincangan tersebut, saya mendapat informasi mengenai biaya pendidikan di SMAN yang sudah digratiskan. Bimbel menjadi institusi yang diuntungkan. Karena biaya sekolah gratis, orang tua punya cukup dana untuk membiayai anaknya mengikuti bimbel.
Sepintas lalu, kondisi ini sangat menyenangkan. Selain siswa dapat memperoleh pengetahuan dari bangku sekolah, mereka juga bisa mendapatkannya dalam bimbel. Rupanya, kondisinya tidak sesederhana itu. Seorang guru yang berbicang dengan saya mengeluhkan prihal cara pengajaran di bimbel. Menurut guru itu, bimbel sering hanya mengajarkan bagaimana menjawab pertanyaan dengan tepat. Mereka tidak mengajarkan proses sehingga memunculkan jawaban yang tepat tersebut.
Mendengar keluhan guru itu, saya teringat masa sekolah. Pengajaran di bangku kelas tiga biasanya terfokus pada latihan soal-soal ujian. Terkadang jam pelajaran yang tersedia tidak cukup untuk latihan soal. Tambahan pelajaran di luar jam sekolah pun menjadi solusi. Ada dua pilihan, ikut bimbel atau les di sekolah.
Sebagai anak dari keluarga tidak mampu, bisa sekolah di SMA swasta ternama di kota Depok saja sudah merupakan kemewahan tersendiri. Karena kondisi tersebut, saya lebih memilih ikut les di sekolah daripada ikut bimbel. Waktu itu, tidak terlalu banyak teman saya yang ikut bimbel. Bukan karena orang tua mereka tidak mampu seperti keluarga saya, melainkan merasa lebih nyaman mengikuti tambahan jam pelajaran dari guru yang sama.
Les di sekolah benar-benar merupakan tambahan jam pelajaran. Materi atau soal-soal yang tidak sempat dibahas pada jam pelajaran resmi, diajarkan dalam les. Meski sudah mengikuti les, setiap kali disuruh mengerjakan soal di papan tulis saya dan kebanyakan teman lain kesulitan. Namun, tidak dengan teman-teman yang mengikuti bimbel. Mereka selalu mampu mengerjakannya. Rupanya, dalam bimbel mereka diajarkan cara cepat mengerjakan soal.
Cara cepat itu sering dikeluhkan oleh guru di sekolah saya, persis seperti keluhan guru yang berbincang dengan saya. Jika dipikir-pikir, ada benarnya guru-guru itu mengeluhkan prihal cara cepat menjawab soal itu. Idealnya, siswa harus mengetahui tahapan demi tahapan hingga mendapat jawaban yang tepat.
Jika saya menjadi guru bahasa Indonesia, tentu saya tidak akan memberikan jawaban kawin paksa atas pertanyaan, “Apa tema novel Sitti Nurbaya?”. Sebab, sebagai orang yang telah beberapa kali membaca Sitti Nurbaya, saya tahu betul kalau baginda Sulaiman tidak pernah memaksa anaknya untuk menikah dengan Datuk Meringgih. Sitti Nurbaya terpaksa (bukan dipaksa) menikah dengan Datuk Meringgih demi menyelamatkan ayahnya, baginda Sulaiman yang berhutang kepada Datuk Meringgih. Namun, jika saya mengajarkan hal itu, siswa saya pasti tidak akan lulus UN.
 Apa boleh buat, dalam sistem pendidikan yang tidak ideal ini, saya pikir pola pengajaran dalam bimbel adalah yang terbaik. Bukankah tujuan kita sekolah adalah lulus UN? Bukankah dalam model soal multipilihan yang dibutuhkan hanya jawaban a, b, c, atau d? Bukankah dalam pendidikan yang memperlakukan semua mata pelajaran layaknya matematika, hanya menyediakan satu jawaban atas sebuah soal? Demikian.
Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

2 ulasan:

  1. Well a teacher is a noble and great profession. It requires patience and devotion, and the world needs a lot of good teachers. I wish you the best in life.

    BalasPadam
  2. i think so, thanks for your comment and I wish you the best in life too

    BalasPadam

Tinggalkan jejak sobat di sini