Obrolan Tentang Kesetiaan

Oleh Denny Prabawa
(www.myfreephotoshop.com)

Mereka tergabung di Forum Lingkar Penyunting. Setiap senja, mereka berkumpul di sebuah kedai untuk ngopi-ngopi sambil ngobrolin buku. Namun, entah siapa yang memulai, senja itu mereka tidak membicarakan sejudul buku pun. Ada topik lain yang lebih menarik untuk diobrolkan: kesetiaan! 
Perbawa menganggap kesetiaan sebagai fondasi pernikahan. Baginya, kesetiaan adalah kesungguhan untuk memenuhi hak pasangan. Tanpa itu, mustahil sebuah rumah tangga dapat ditegakkan. Namun, Koko yang hidup terpisah dengan istrinya karena pekerjaan memiliki pandangan lain. Ia menganggap kesetiaan sebagai sebuah komitmen untuk sehidup semati, meski salah satu dari pasangan terhalang melaksanakan kewajiban terhadap pasangannya.
Noor H. Dee yang senja itu datang bersama istrinya, tidak mengungkapkan pendapatnya. Ia memilih mempertontonkan kemesraannya. Baginya, itu sudah cukup menjelaskan kesetiaannya kepada Fifi, nama panggilan istrinya.
Pekik yang beberapa bulan lagi akan melangsungkan pernikahan menceritakan godaan-godaan yang kerap mendatanginya. Sejak ia melamar calon istrinya, banyak teman-teman wanitanya yang tiba-tiba menjadi akrab dengannya, bahkan ada yang terang-terangan menyatakan ingin menjadi istrinya. Sampai detik ia bercerita, ia masih bersetia pada rencana pernikahannya.
Bagaimana pendapatmu, Git? tanya Koko. Maka, Igit pun bercerita tentang ketidaksetiaan. Begini ceritanya.
***
Kalian tahu, laki-laki diuji olah Allah dengan wanita? Saya percaya, kalian tidak membutuhkan kutipan untuk mengamini perkataan saya ini. Sebagai lelaki, tentu kalian tahu betapa beratnya ujian ini.
Setiap hari saya harus naik kereta listrik untuk sampai ke tempat kerja. Sekolahan tempat saya mengajar ada di daerah Salemba, sementara rumah kos saya di Margonda. Jakarta memang macet luar biasa, tapi alasan itu bukan satu-satunya yang mendasari keputusan saya menggunakan kereta. Saya tidak punya sepeda motor. Kalaupun saya punya, alasan kemacetan itu sudah cukup bagi saya memilih kereta listrik.
Sejak PT KAI menerima Public Service Obligation (PSO), mereka menurunkan harga tiket. Akibatnya, gerbong padat. Siapa yang tidak mau ongkos murah? Apalagi, seorang guru honorer dan editor pemula seperti saya.
Setiap hari saya naik kereta dari Pondok Cina. Stasiun itu paling dekat dengan tempat kos saya. Kalau saya ingin mendapat posisi yang bagus untuk bisa membaca, saya harus naik kereta dari arah Jakarta yang akan mengakhiri perjalanan di stasiun Depok. Seperti hari ini, saya dapat tempat persis di tepi pintu yang tidak digunakan untuk naik turun penumpang di setiap stasiun. Saya bersandar pada tiang pembatas kursi penumpang. Lumayan, saya bisa membaca Sang Alkemis karya Paulo Coelho. Dulu, saya pernah baca buku itu. Sekarang, saya ingin baca ulang.
Di stasiun Depok, seorang wanita naik ke dalam gerbong yang saya tumpangi. Wanita itu tidak terlalu tinggi tidak terlalu pendek. Ia berdiri persis di sisi kanan saya, berkaus hitam berlapis blazer abu-abu, bermata sipit, dan berkerudung merah. Ia mengenakan celana panjang warna hitam.
Awalnya, saya tidak terlalu memperhatikannya. Saya terlalu asyik dengan Sang Alkemis. Namun, ketika pintu kereta terbuka di stasiun Depok Baru, para penumpang yang menunggu di stasiun itu berhamburan masuk. Wanita di sisi kanan saya itu terdesak hingga tubuhnya memepet tubuh saya.
“Maaf,” katanya. Mungkin ia merasa bersalah karena mengganggu keasyikan saya membaca buku. Mungkin ia merasa bersalah karena tanpa sekeinginannya ia mendesak tubuh saya. Tidak saya tanyakan kepadanya, mana di antara dua kemungkinan itu yang paling mendekati benar. Namun, saat itulah, seingat saya, untuk pertama kalinya, saya memperhatikan wajahnya yang cantik, setidaknya berdasarkan ukuran saya.
Saya menyunggingkan senyum sebagai jawaban atas permohonan maafnya, lalu kembali membaca Sang Alkemis. Namun, saya tidak benar-benar bisa membaca seutuhnya. Pupil mata saya selalu tertarik ke ujung mata sehingga tampak wajah wanita cantik itu yang tengah tersenyum ke arah saya. Lagi-lagi, saya hanya bisa membalas senyumnya.
Saat kereta berhenti di stasiun Pondok Cina, gerbong semakin padat. Sekali lagi, wanita di sisi saya terdorong hingga posisi berdirinya berubah. Wanita itu berdiri tepat di depan saya. Kami hanya dipisahkan oleh tas punggung yang saya gendong di depan. Saat itulah saya teringat kepada istri saya.
Nabi Muhammad pernah melihat wanita cantik, lalu dia mendatangi istrinya. Katanya, apa yang ada pada wanita itu, ada pula pada istrinya. Oleh karena itu, saya teringat istri saya. Saya segera mengirimkan BBM kepada istri saya. Rupanya, ia sudah meninggalkan rumah beberapa menit sebelum menerima BBM saya. Padahal, saya ingin kembali ke rumah. Saya lupa, hari ini jadwal ia datang ke kantor penerbitan yang menggajinya sebagai publisis.
“Saya juga suka Sang Alkemis,” kata wanita berkerudung merah di hadapan saya. Wajahnya hanya beberapa senti saja dari wajah saya. Saking dekatnya, saya bisa merasakan aroma papermint dari mulutnya. Sepertinya, dia sedang mengunyah permen.
“Kenapa suka?” tanyaku.
“Semesta mendukung,” jawabnya singkat.
“Aku juga suka karena itu,” kataku.
Kereta berhenti di stasiun Cawang. Banyak penumpang yang turun di stasiun itu. Gerbong terasa lebih lengang. Namun, aku sudah tidak berminat melanjutkan bacaanku. Wanita di hadapanku membagi semua pengetahuannya tentang novel itu kepadaku. Semakin ia banyak bicara, semakin banyak aroma papermint keluar dari mulutnya yang berpulas lip gloss sehingga bibirnya tampak selalu basah. Apalagi, meski gerbong sedikit lebih lengang, ia tidak berusaha melebarkan jarak antarwajah kami.
Perbincangan kami terputus, setelah kereta tiba di stasiun Manggarai. Pintu kereta yang ada di sisi kami berdiri terbuka. Ia turun dari kereta. Saya lupa menanyakan namanya, tapi dia tidak lupa memberikan pin BB-nya kepada saya. Belakangan, saya mengetahui namanya. Nindi Fanswari, begitu ia memperkenalkan namanya melalui BBM beberapa saat setelah kereta meninggalkan stasiun Manggarai. Ia berjanji akan melanjutkan kisah Santiago sepulang kerja. Tiba-tiba, saya merasa merindukan aroma papermint dari mulutnya.
Nindi Fanswari, namanya terdengar seperti Fansuri, penyair yang mengarang Syair Perahu. Barangkali, semasa hidup, Fansuri suka naik perahu. Saat saya tanyakan melalui BBM, apakah Fanswari pernah menulis Syair Kereta, ia malah mengajak bertemu di peron enam stasiun Manggarai.
Senja itu, kami bertemu di peron enam stasiun Manggarai. Pertemuan itu disusul pertemuan-pertemuan lainnya dengan skenario yang sama, kereta yang sama, gerbong yang sama, pada waktu yang sama. Namun, tentu saja cerita dalam novel yang berbeda.
Sampai suatu malam, istri saya yang sebenarnya tidak kalah cantik dengan Fanswari memeluk tubuh saya saat saya sedang mengedit naskah anak pesanan Koko Nata. “Maafkan saya,” katanya lirih di telinga saya.
Tentu saja saya bingung bukan kepalang. Seharusnya saya yang meminta maaf kepadanya, bukan dia. Saat saya tanyakan mengapa dia meminta maaf kepada saya, dia makin mengeratkan pelukannya. Katanya, “Mulai besok, saya tidak akan pergi ke kantor penerbitan lagi.”
Saya menanyakan apakah ia berhenti kerja. Ia menjawab, “Tidak.” Lalu mengapa ia memutuskan tidak akan pergi ke kantor penerbitan? Saat saya menanyakan hal itu, ia mengatakan, “Mbak Rahmadianti, Manajer Promosi di penerbitan itu, membolehkan saya bekerja di rumah saja.”
Paginya, saya menerima BBM dari Fanswari. Dalam pesannya itu, ia mengatakan, “Seseorang yang mengaku bernama Pangesti Utami mengirimkan pesan melalui BB-mu.” Saat itu juga, saya teringat kepada istri saya. Rupanya, ia sudah mengetahui hubungan saya dengan Fanswari. Sejak hari itu, saya tidak lagi bertemu dengan Fanswari. Hubungan kami tamat.
Jujur saja, saya merindukan aroma papermint dari mulut Fanswari. Kerinduan itu, tentu saja membuat saya merasa bersalah kepada Pangesti Utami yang telah mengorbankan pekerjaannya demi suaminya. Di mana saya bisa bertemu wanita sebaik dirinya?
Sampai suatu hari, selepas subuh, kereta yang mengawali perjalanannya dari Dipo stasiun Depok berhenti di Pondok Cina. Saya menaiki kereta yang lengang meski tak menyisakan kursi. Saya naik di gerbong tempat saya biasa bersua Fanswari. Seorang wanita seperti Fanswari, tapi bukan Fanswari, berdiri di sisi pintu yang hanya akan terbuka di stasiun Manggarai. Saya berdiri di muka wanita yang menggendong tas punggungnya di depan itu. Ia tengah asyik membaca novel Sang Alkemis.
“Saya juga suka Sang Alkemis,” kataku. Wanita seperti Fanswari tapi bukan Fanswari itu menatapku antusias.
“Kenapa suka?” tanyanya.
“Semesta mendukung,” jawab saya singkat.
“Aku juga suka karena itu,” katanya. Ia mengirup udara dalam-dalam, lalu mengatakan, “Aku juga suka aroma papermint dari mulutmu.”
Cerita selanjutnya, kalian sudah tahu.
***
Igit Rijal mengakhiri ceritanya, beberapa detik sebelum seorang wanita yang berprofesi sebagai publisis di kantor Noor H. Dee menghampiri meja mereka. Wanita itu menyapa mereka. Setelah itu, ia pergi bersama Igit Rijal.
“Siapa, Yang?” tanya Fifi kepada suaminya.
“Pangesti Utami,” jawab Noor H. Dee sambil merangkul istrinya.
“Istrinya Git?” tanya istrinya penasaran.
“Bukan,” kata Pekik. Ia menuntaskan suapan nasi goreng terakhirnya.
“Calon istrinya,” tambah Koko Nata tanpa mengalihkan pandangannya dari BB-nya.
“Jadi, karena itu Igit belum melamar Pangesti Utami?” tebak Pekik.
“Takut selingkuh?” Noor H. Dee mempertegas pertanyaan Pekik. Saat mengatakan itu, ia menolehkan wajahnya ke arah istrinya.
“Menurutku,” kata Perbawa, “bukan karena itu.”
“Jadi, karena apa?” tanya Pekik. Setelah itu, ia menyedot jus mangga yang baru diantar pramusaji.
Perbawa tersenyum. Ia mengambil cangkir kopinya yang isinya hanya tinggal sepertiga, lalu menyeruputnya hingga tandas. “Sudah waktunya pulang!”


Bunga, 11—13 Februari 2014
Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

2 ulasan:

Tinggalkan jejak sobat di sini