Fajar Menulis Cerita (Misteri Vila di Atas Bukit)

Novel Denny Prabowo dan Hafi Zha

dok. balai pustaka

Sore hari, selepas salat Asar. Fajar memanjat pohon akasia yang tumbuh di belakang rumahnya. Di atas pohon besar itu, Ayah membuatkan Fajar sebuah pondok. Luasnya hanya 2 X 2 meter persegi. 

Mereka menyebutnya Menara Cakrawala. Karena dari atas pohon itu, Fajar bersama Ayah biasa memandangi kaki langit. Ketika pagi saat matahari mulai meninggi atau sore hari saat matahari akan tenggelam. Sesekali Senja ikut juga naik ke menara Cakrawala. Ayah sering bercerita kepada Fajar dan Senja di atas Menara Cakrawala. 

Ayah memang seorang penulis cerita. Sebab itulah Ayah memiliki banyak waktu luang untuk bermain bersama kedua anak kesayangannya. Dia tidak seperti ayah-ayah lain, yang selalu pergi pagi dan pulang pada malam hari. 

Ayah tidak memiliki kantor. Ia biasa menulis cerita di mana saja. Tapi paling sering di dalam perpustakaan kecil di samping kamar tidurnya. Fajar sering memandangi Ayah yang sedang menulis cerita dengan komputernya dari atas Menara Cakrawala. 

Sebulan yang lalu, ada dua orang teman Ayah datang bertamu ke rumah mereka. Sejak itu, Ayah belum kembali lagi ke rumah. Hanya sesekali saja menelpon atau mengirimkan SMS ke handphone Bunda.

“Mas Fajar, turun!” Senja berteriak dari bawah Menara Cakrawala. “Disuruh mandi sama Bunda.”

“Iya, nanti.”

“Udah mau Asar, Mas.”

Benar saja. Tak berapa lama Senja berucap, dari kejauhan terdengar suara azan. Fajar tak menunggu waktu lebih lama lagi. Dia segera turun. Bunda memang selalu mengajarkan pada anak-anaknya agar menyegerakan salat ketika telah datang waktunya.

Setelah membersihkan tubuhnya di kamar mandi, Fajar pergi ke ruang keluarga. Di sana sudah menunggu Bunda dan Senja mengenakan mukena putih. Fajar segera menggelar sajadah di depan Bunda dan Senja. Kalau Ayah sedang tidak ada, Fajar yang selalu menjadi imam salat bagi Bunda dan Senja.

***

Fajar masuk ke dalam perpustakaan kecil milik Ayah. Dia menghidupkan komputer. Belakangan, sejak Ayahnya jarang kembali ke rumah, Fajar suka nulis dengan menggunakan komputer milik Ayah. Dia betah duduk berjam-jam di sana, menulis apa saja. Atau membaca file-file cerita karangan Ayah yang belum dikirimkan ke majalah, atau ke penerbit buku.

Sudah lama Fajar ingin pergi ke pantai. Dia sering mendengar Dipo, teman sekolahnya bercerita tentang pantai-pantai yang pernah disinggahinya. Fajar belum pernah pergi ke pantai, selain ke Ancol. 

Selama ini Ayah selalu mengajak dirinya dan Senja kemping di kaki gunung. Pernah juga Ayah membawa Fajar mendaki ke puncak Gunung Gede, sementara Senja menunggu dengan Bunda di tenda yang didirikan dekat air terjun Cibeureum, Cibodas. 

Ayah memang seorang pendaki. Fajar sering melihat album-album foto pendakian Ayah. Ayah sering melakukan pendakian bersama Bunda, sebelum Fajar dan Senja hadir di tengah-tengah mereka.

“Mas Fajar lagi ngapain?” tegur Senja, yang sudah berdiri di belakang punggung Fajar sejak beberapa waktu lalu.

Fajar menoleh ke belakang. kemudian kembali memandang layar monitor komputer. Fajar menarik nafas berat. Dia mengangkat bahu sebagai jawaban atas pertanyaan Senja barusan.

Senja mendekatkan wajahnya ke layar monitor komputer. Dia membaca beberapa kalimat yang diketik oleh Fajar. Keningnya berkerut. Alis matanya yang tebal saling bertaut. Ekor mata senja yang mirip mata kucing melirik ke arah Fajar.

“Mas Fajar lagi nulis cerita ya, seperti Ayah?”

“Hah?” Fajar seperti tersadar dari lamunannya. “Kamu bilang apa tadi?”

“Mas lagi nulis cerita?”

Fajar lalu membaca kembali kalimat-kalimat yang diketiknya di komputer. Fajar seolah tidak percaya dengan penglihatannya.

“Siapa yang nulis ini?”

“Lho, kok Mas malah tanya aku?” Senja ikutan bingung, “Bukannya dari tadi Mas Fajar yang ada di depan komputer?”

Fajar kembali membaca kalimat-kalimatnya di layar monitor. Jelas sekali bukan tulisan Ayah. Kalau begitu.... Fajar melempar senyum ke arah Senja.

“Aku nggak sadar. Tadinya aku cuma mau curhat aja. Eh, tahunya malah jadi cerita. Kok bisa, ya?”

“Aku tahu!” kata Senja, “Mas Fajar ingat nggak perkataan Ayah waktu kita bertiga lagi di atas Menara Cakrawala?”

“Yang kapan?”

“Waktu sore-sore,” Senja menjelaskan, “Waktu itu Mas Fajar nanya ke Ayah, gimana caranya kalau kita mau jadi penulis cerita seperti Ayah. Inget nggak?”

“O, iya.... Aku ingat!” Fajar berdiri dari kursinya, “Waktu itu, Ayah bilang kalo kita mau jadi penulis, yang pertama harus dilakukan....”

“Menulis!” sambar Senja.

“Kedua....”

“Menulis!” jawab Senja lagi.

“Yang ketiga....”

“Menulis!” kata Senja lagi, ”Baru yang keempat, membaca.”

“Ya, Ayah bilang, kita harus menuliskan apa yang sedang kita rasakan dan kita pikirkan.”

“Wah, kalau gitu Senja jadi tahu apa yang sedang Mas Fajar pikirkan dan rasakan. Mas pasti kepingin sekali berlibur ke pantai, ya, kan?” tebak Senja.

Fajar bukannya menjawab malah tertunduk. Lalu berjalan menghampiri jendela. Dia berdiri di sana memandangi Menara Cakrawala. Senja menghampirinya. 

“Aku udah bikin Mas Fajar sedih, ya?”

Fajar menggelengkan kepala lemah. Lalu tersenyum ke arah adiknya. “Bukan salah kamu. Bukan salah siapa-siapa.”

“Lalu, kenapa Mas Fajar sedih?”

“Aku kangen sama Ayah. Aku kepingin sekali, liburan kali ini, kita bisa pergi ke pantai sama Ayah. Udah lama banget Ayah nggak pulang....” 

Tanpa disadari, air mata menetes di kedua belah pipi Fajar. Senja mengusap air mata yang mengalir di pipi Fajar dengan jarinya. 

“Mas Fajar jangan nangis. Nanti Senja jadi ikutan sedih...,” mohon Senja pada kakaknya.

Fajar menarik napas dalam. Berusaha untuk tersenyum. Dia tidak mau, adik kesayangannya jadi ikutan bersedih karena dirinya. Sebagai seorang kakak, Fajar merasa harus lebih tegar daripada adiknya.

“Nah, gitu, dong!” sorak Senja, girang.

“Makasih ya....” Fajar mencium kening adiknya.

“Daripada kita sedih, mending Mas lanjutin nulis cerita aja. Siapa tahu aja bisa dijadiin buku, seperti cerita-cerita Ayah. Tar uangnya bisa kita pake buat liburan ke pantai!” usul Senja.

”Wah, ide yang bagus!” Fajar kemudian kembali ke tempat duduknya di depan komputer. “Aku mau nulis cerita tentang pantai. Hmm...”

“Kalo gitu, Senja mau ke dapur dulu.”

“Mau ngapain?”

“Mau buat minuman untuk Mas Fajar.”

Fajar tersenyum. Dia bahagia sekali memiliki seorang adik seperti Senja. Setelah Senja menghilang di balik pintu, Fajar mulai melanjutkan menulis cerita. 

Tak berapa lama, Senja kembali ke perpustakaan membawa dua gelas jus tomat. Satu untuk Fajar. Dan satu lagi untuk dirinya. Kemudian Senja duduk di samping Fajar, menemani kakaknya menulis cerita. Selama ini, Senja sering menemani Ayahnya menulis cerita.
Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini