Sigalarki dan Limbat

Cergam Denny Prabowo

dok. balai pustaka

Pagi hari di tepi danau Tondano, Sulawesi Utara. Terdengar suara burung bernyanyi dan gemericik air. Matahari masih bersembunyi di balik rindang pepohonan.

Seorang pemuda bernama Sigarlaki, keluar dari rumahnya yang berdiri persis di tepi danau. Ia mengirup udara pagi yang segar. Lalu meregangkan otot-ototnya yang masih kaku.

Sigarlaki terkenal sebagai pemburu yang handal. Setiap sasaran yang dibidiknya, tak pernah luput. Namun, ia hanya berburu untuk memenuhi kebutuhan makannya saja.

“Limbat, tolong ambilkan tombaku!” perintah Sigarlaki dari luar rumah. 

Tidak berapa lama, Limbat keluar membawa sebuah tombak. Mata tombak itu tampak berkilauan. Rupanya, Limbat baru mengasahnya dengan batu. 

“Ini tombaknya, Tuan,” kata Limbat, menyerahkan tombak kepada Sigarlaki.

Sigalarki memeriksa mata tombak yang sangat tajam itu. “Bagus,” katanya kepada Limbat, “kau memang pandai merawat tombakku.

Sigarlaki sangat pandai menggunakan tombak. Tangannya yang kekar memutar-mutar tombak miliknya. Ia kemudian berdiri di tepi danau, membidikkan tombaknya ke air danau. 

Sigarlaki melemparkan tombaknya. Suiiiing! Tombak itu masuk ke dalam danau dan mengenai dua seekor ikan sekaligus. “Horeeee!” teriak Sigarlaki gembira. 

Limbat segera mengambil tombak milik tuannya dan pergi menyiapkan ikan bakar untuk bekal berburu hari ini. Setelah selesai, ia menemui Sigarlaki. “Tuan jadi akan berburu hari ini?” tanya Limbat.

“Ya,” jawab Sigarlaki sambil memain-mainkan tombaknya. 

“Tapi sepertinya…,” kata Limbat sambil melihat cuaca yang mendung, “hari ini bukan saat yang tepat untuk berburu, Tuan.”

“Saya yakin hari ini akan mendapat hasil buruan yang banyak,” sangkal Sigarlaki.”

Meski Limbat merasa perburuan akan sia-sia, dia tetap menuruti tuannya. Sigarlaki dan Limbat siap untuk berburu. Sigarlaki menyampirkan tombaknya di pundak. Limbat membawa tas perbekalan mereka.

“Ke mana tujuan kita, Tuan?” Tanya Limbat sebelum mereka pergi meninggalkan rumah.

“Kita pergi ke sisi danau di sebelah barat,” ujar Sigarlaki, “di tempat itu banyak hewan mencari minum di tepian danau.”

“Baik, Tuan,” kata Limbat, “saya siapkan dahulu perahunya.” 

“Silakan naik, Tuan,” ujar Limbat sambil memegangi tali perahu. Sigarlaki naik ke atas perahu. 

Limbat menyusul tuannya melompat ke atas perahu. Ia mengambil sebuah dayung. Dengan sigap ia mengayunkan dayungnya. Perahu kayu itu meluncur di permukaan air danau yang tenang. 

“Sepertinya hujan akan segera turun, Tuan,” kata Limbat memperingatkan. 

“Hujan tak akan mencegahku mendapat hewan buruan hari ini!” jawab Sigarlaki sombong.

Ketika perahu mereka sampai di tujuan, hujan semakin lebat. Limbat segera merapatkan perahunya ke tepian. Sigarlaki melompat dari perahu, mencari tempat teduh.

“Kita mengintai hewan-hewan dari pohon besar itu!” perintah Sigarlaki sambil berlari.

Limbat pun segera pergi ke balik pohon besar yang rimbun. Menyusul tuannya.

“Ke mana hewan-hewan itu?” kata Sigarlaki mulai tak sabar. Sudah lama mereka mengintai. 

“Mungkin hewan-hewan itu sedang berteduh di sarangnya, Tuan,” kata Limbat.

Akhirnya, Sigarlaki memutuskan untuk kembali. Ia sangat kecewa. Belum pernah pemburu sehebat dirinya pulang dengan tangan kosong.

“Kita masih bisa melanjutkan perburuan kita besok, Tuan!” ujar Limbat memberi harapan.

Keesokan harinya. Pagi-pagi sekali Sigarlaki sudah siap untuk berburu. 

“Tuan mau berburu ke ke tempat kemarin lagi?” tanya Limbat sambil menyiapkan bekal untuk tuannya.

“Ya, Limbat,” kata Sigarlaki, “tapi saya tak akan menunggu mangsa di tepi danau. Saya akan memburu mereka hingga ke tengah hutan di dekat bukit.”

“Hutan itu banyak binatang buasnya, Tuan,” kata Limbat, “kata penduduk sekitar, tidak banyak hewan buruan yang bisa ditemui di sana. Semua sudah habis dimangsa binatang buas.”

“Saya tidak takut binatang buas, Limbat!” jawab Sigarlaki, “kalau perlu, saya akan buru binatang-binatang buas itu!” seru Sigarlaki penuh percaya diri.

“Kau tunggu di rumah saja, Limbat,” perintah Sigarlaki, “saya akan pergi seorang diri ke hutan itu. Jaga rumah. Jangan biarkan ada yang mencuri perbekalan makan kita.”

“Baik, Tuan,” jawab Limbat, “saya akan menjaganya dengan baik.”

Limbat memandangi perahu yang ditumpangi tuannya, hingga hanya terlihat seperti titik hitam. Setelah itu, ia kembali ke rumah.

Akan tetapi, ia teringat persediaan kayu bakar habis. Limbat kemudian pergi ke tepian hutan di sekitar rumahnya. Mencari kayu bakar.

Sementara di tempat lain, perahu Sigarlaki merapat di tepi danau. Kali ini ia tak mau menunggu buruannya di tepi danau. Sigarlaki masuk ke dalam hutan.

“Kali ini saya akan membawa hasil buruan yang banyak!” seru Sigarlaki.

Namun, setelah berjalan cukup lama, ia tak menemukan seekor hewan pun. “Ke mana hewan-hewan itu pergi?”

Sampai sore hari, ia masih belum juga mendapat hewan buruan. Sigarlaki menjadi kesal. Ia memutuskan untuk pulang ke rumah.

Sesampai di rumah, Sigarlaki merasa lapar. Ia meminta Limbat untuk menyiapkan makan. Limbat pergi ke dapur. 

Namun, betapa terkejutnya Limbat, ketika tak mendapati perbekalan makan mereka. Semuanya hilang!

Limbat segera menemui tuannya. Katanya, “Perbelakan kita hilang, Tuan! Ada yang mencurinya.”

“Bagai mana mungkin bisa hilang?” ujar Sigarlaki marah, “bukankah sudah kusuruh kau menjaganya?”

“Setelah tuan pergi tadi, aku mencari kayu bakar di pinggiran hutan. Mungkin saat aku pergi itu ada yang mencurinya,” terang Limbat.

“Bohong!” ucap Sigarlaki keras, “Pasti kau yang mencurinya!”

“Tidak, Tuan,” kata Limbat ketakutan, “mana mungkin aku mencuri perbekalan makan kita sendiri?”

“Ah, aku tak peduli,” kata Sigarlaki, “kau harus membuktikan ucapanmu itu!”

“Bagaimana cara aku membuktikannya, Tuan?” jawab Limbat semakin ketakutan.

“Ayo, ikut denganku!” perintah Sigarlaki sambil menarik paksa tangan Limbat.

Sigarlaki pun mengajak Limbat ke sebuah kolam yang ada di tepi danau. Ia menyuruh Limbat masuk ke dalam kolam itu. Setelah itu, Sigarlaki bersiap melemparkan tombaknya ke dasar kolam.

“Kau harus menyelam ke dalam kolam,” perintah Sigarlaki, “jika kepalamu keluar lebih dulu dari dalam air sebelum tombak yang aku lempar ke dasar kolam, maka engkaulah pencurinya!”

Meski ketakutan, Limbat menuruti perintah tuannya. Ia menyelam ke dalam kolam yang tak berapa dalam itu, bersamaan denga tombak yang dilemparkan oleh Sigarlaki.

Tepat ketika tombak menancap di dasar kolam, Limbat melihat seekor babi hutan keluar dari dalam rumahnya.

Buru-buru ia mengambil tombaknya dari dasar kolam. Lalu dengan sekali bidik, ia melemparkan tombak itu ke arah babi hutan.

Suuuuiiiiiinnnngggg… crab! Tombak yang dilemparnya meleset. Babi hutan itu segera berlari ke dalam hutan.

“Ah, meleset!” ujar Sigarlaki dongkol. Ia segera berlari mengambil tombaknya yang menancap pada sebatang pohon.

Ketika Sigarlaki kembali ke kolam, ia menemukan Limbat sudah keluar dari alam air. Melihat hal itu, Sigar laki yang kesal karena lemparannya meleset menjadi marah.

“Apa yang kaulakukan? Bukankah aku suruh kau menyelam ke dalam kolam?” omel Sigarlaki, “mengapa kau keluar dari dalam air?”

“Tapi tombak itu sudah lebih dulu keluar dari dalam kolam, Tuan,” kata Limbat, “jadi aku menang. Tuduhan Tuan tidak terbukti. Aku tidak mencuri perbekalan kita.”

“Oh, tidak bisa!” seru Sigarlaki, “Tombak itu bukan keluar sendiri dari dalam kolam. Aku yang mencabutnya. Jadi kita harus mengulanginya kembali.”

“Tapi Tuan hanya mengatakan jika tombak itu keluar dari dalam dasar kolam. Dan sekarang tombak itu sudah berada di tangan Tuan,” protes Limbat.

“Ah, jangan-jangan kau memang yang mencurinya,” tuding Limbat, “makanya kau tak mau masuk ke dalam kolam lagi.

“Tidak, Tuan,” sanggah Limbat, “aku tidak mungkin mencurinya.”

“Untuk membuktikan perkataanmu, kau harus masuk ke dalam kolam lagi, Limbat!” perintah Sigarlaki.

Limbat langsung masuk ke dalam kolam. Ia tak mau dituduh mencuri perbekalan makanan mereka.

“Awas kau jangan naik lagi sebelum tongkat itu keluar dari dalam kolam,” ancam Sigarlaki.

“Aku akan membuktikan kalau bukan aku yang mencuri perbekalan kita, Tuan!” tukas Limbat.

“Baik, sekarang bersiaplah,” kata Sigarlaki, “aku akan melempar tombaknya ke dasar kolam.”

“Satu…,” Sigarlaki mulai menghitung, “Dua… Ti...”

Belum selesai Sigarlaki menghitung, tiba-tiba seekor kepiting keluar dari dalam kolam. Kepiting itu mencapit kaki Sigarlaki.

“Aduuuuuuhhhhh!” teriak Sigarlaki keras sekali, “Kakiku sakit!”

Limbat segera keluar dari dalam kolam. Ia melepaskan capitan kepiting dari kaki tuannya. Lalu mengembalikan kepiting ke dalam kolam. 

Kaki Sigarlaki yang kena capit kepiting mengeluarkan banyak darah. Limbat segera mencari daun-daun berkhasiat yang bisa menyumbat luka.

Setelah dapat daun-daun itu, ia menghaluskannya dengan mengunyah. Lalu menutup luka Sigarlaki dengan ramuan itu. “Tahan sedikit, Tuan.”

Limbat sama sekali tidak menunjukan perasaan dendam kepada tuannya. Meski ia telah diperlakukan tidak adil, ia tetap membantu tuannya itu.

“Bagaimana, Tuan?” Tanya Limbat setelah selesai membalut kaki Sigarlaki dengan daun-daun berkhasiat, “Apakah sudah merasa baikan?”

Sigarlaki tertunduk malu. Ia tidak menyangka, orang yang telah dituduhnya mencuri tanpa bukti, telah membantu dirinya.

“Maafkan aku, Limbat,” ucap Sigarlaki lirih. Belum pernah ia terlihat selemah itu.

Limbat tersenyum. “Aku sudah memaafkan, Tuan. Aku tahu Tuan hanya kesal saja karena tak mendapat hewan buruan.”

“Lihat!” seru Sigarlaki. Ia melihat babi hutan yang tadi dilempari tombak masuk ke dalam rumah mereka. Tak berapa lama babi itu keluar sambil membawa sesuatu di mulutnya.

“Pasti babi itu yang telah mencuri makanan kita, Tuan!” ujar Limbat.

“Seharusnya aku mempercayai dirimu, Limbat,” kata Sigarlaki menyesali dirinya, “mana mungkin kau mencuri perbekalan kita sendiri.”

Sejak saat itu, Sigarlaki tak pernah menuding Limbat sembarangan. Ia mempercayai pelayan yang telah menjadi sahabat terbaiknya itu.

Keesokan harinya, mereka bedua pergi berburu dan mendapatkan banyak sekali hewan buruan. Hasil buruan mereka itu cukup untuk persediaan makan mereka selama beberapa hari.


Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini