Dusta di Balik Kata

Oleh Denny Prabawa

http://www.theater330.com

Dalam bukunya Semiotika dan Hipersemiotika: Gaya, Kode, dan Matinya Makna (Matahari, 2012), Yasraf Amir Piliang menyitir perkataan Umberto Eco, “Semiotika pada prinsipnya adalah sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta.” Untuk menjelaskan perkataan Eco tersebut, ia juga mengutip tulisan Arthur Asa Berger yang mengatakan, “…bila tanda dapat digunakan untuk menampilkan kebenaran, maka tanda juga dapat digunakan untuk berdusta atau menipu.” Dengan kata lain, selain dapat digunakan untuk mengungkapkan kebenaran, disiplin ilmu semiotika dapat pula digunakan untuk mengungkap kedustaan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kata “dusta” sebagai tidak benar atau bohong. Kata “bohong” sendiri bermakna tidak sesuai dengan hal yang sebenarnya. Seseorang mengatakan A sementara realitas sesungguh adalah B. Sebaliknya, seseorang dikatakan tengah mengungkapkan kebenaran ketika ia mengatakan A untuk realitas A.
Dalam bukunya sebagaimana yang saya sebutkan di awal, Yasraf menuliskan enam tipologi tanda, yakni tanda sebenarnya (proper sign), palsu (pseudo sign), tanda dusta (false sign), tanda daur ulang (recycle sign), tanda artificial (artificial sign), tanda ekstrim (superlative sign).
Tanda dusta adalah tanda yang memiliki hubungan asimetris dengan realitas. Tanda A digunakan untuk menggambarkan realitas B. Kebudayaan banyak menampilkan tanda ini, seperti pemakaian baju wanita oleh seorang lelaki, penggunaan wig, penyamaran warna (kamuflase), penggunaan jargon atau pakaian untuk memberi kesan intelek, dan sebagainya.
Denny JA membuat tulisan berjudul “Katakanlah Dengan Kultweet Soal Petisi 33 Buku Sosok Sastra Paling Berpengaruh” (inspirasi.co, 17 Januari 2014). Dalam tulisannya itu, ia mengatakan, “Saya tak hendak menjadi tokoh sastra tapi hanya ingin berjuang melawan diskriminasi melalui sastra. Juga belum merasa pantas dimasukkan dalam list 33 sosok sastra paling berpengaruh.” Ada dua hal yang bisa kita tangkap dari perkataan Denny JA. Pertama, dia tidak hendak menjadi tokoh sastra. Kedua, dia belum merasa pantas dimasukkan dalam daftar sastrawan paling berpengaruh.
 Partikel “tak” yang mendahului kata “hendak” berfungsi untuk menyatakan pengingkaran, penolakan, penyangkalan. Kata “hendak” bersinonim dengan kata “mau”. Melalui perkataannya itu, Denny JA mengingkari, menolak, dan menyangkal dirinya mau menjadi tokoh sastra. Apa alasan penolakkannya? Kalimat selanjutnya menjawab pertanyaan itu; dia belum merasa pantas.
Jika Denny JA memang belum pantas dimasukkan dalam buku tersebut sebagaimana pengakuannya, mengapa Tim 8 memasukkan namanya? Disadarinya atau tidak, perkataan Denny JA seperti meragukan kompetensi Tim 8 yang telah memilihnya. Bagaimana mungkin Tim 8 bisa dikatakan kompeten jika mereka memilih orang yang belum pantas dimasukkan dalam buku tersebut? Berarti hanya Maman S. Mahaya yang kompeten dalam Tim 8 karena ia satu-satunya orang yang tidak setuju nama Denny JA masuk dalam 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh!
Perkataan Denny JA tersebut dapat dikatakan sebagai tanda, baik tanda sebenarnya maupun tanda dusta. Jika perkataan tersebut memiliki hubungan simetris dengan realitas, perkataan itu adalah tanda sebenarnya. Namun, jika perkataan itu asimetris dengan realitas, perkataan itu adalah tanda dusta. Untuk memilih di antara dua kemungkinan tersebut, kita harus menghubungkannya dengan realitas yang dibangunnya.
Siapa pun yang pernah melihat buku Atas Nama Cinta (Sebuah Puisi Esai), pasti takkan luput membaca tulisan “Genre Baru Sastra Indonesia” di kaver buku itu. Sebuah klaim yang segera menyejajarkan dirinya dengan Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sutardji Calzoem Bachri, atau Afrizal Malna.
Denny JA mengatakan dalam pengantar bukunya itu, “Sebuah genre pada dasarnya adalah konstruksi sosial. Ia tidak lahir hanya karena titah seorang otoritas sastra, tapi terutama karena diterima oleh publik.” Apa ukuran diterima oleh publik? Ia mengatakan, “…banyaknya pengikut atau pengarang yang mengulangi medium atau ekspresi baru itu.” Namun, sebelum terbukti banyak pengarang yang mengikutinya, bukankah ia sudah lebih dulu mengklaim bukunya sebagai “Genre Baru Sastra Indonesia” sebagaimana tertulis pada sampul bukunya?
Terbitnya Atas Nama Cinta segera diikuti oleh lomba menulis puisi esai yang diselenggarakan olehnya. Melalui lomba itu, Denny JA berhasil merekayasa konstruksi sosial. Dunia sastra Indonesia yang segera hamil tua selepas penerbitan bukunya melahirkan sebuah genre baru: generasi penulis puisi esai. Denny JA-lah pelopornya! Berdasarkan alasan tersebut, Denny JA dimasukkan dalam 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh yang disusun oleh Jamal D. Rahman, dkk.
Untuk apa Denny JA mengklaim bukunya sebagai “Genre Baru Sastra Indonesia” yang segera menyejajarkan dirinya dengan pembaharu, seperti Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sutardji Calzoem Bachri, atau Afrizal Malna, kalau pada akhirnya dia mengatakan dirinya belum pantas dimasukkan dalam 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh?
Buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengarus disusun oleh Tim 8 yang beranggotakan Jamal D. Rahman, Agus R. Sarjono, Ahmad Gaus, Acep Zamzam Noor, Berthold Damshäuser, Joni Ariadinata, Nenden Lilis, dan Maman S. Mahayana. Bisa dikatakan, buku tersebut hasil kerja keras mereka. Namun, ketika muncul petisi menolak buku tersebut karena ada nama Denny JA yang dianggap belum pantas dinobatkan setinggi itu, tidak satu pun anggota Tim 8 yang berusaha membela hasil kerja mereka. Reaksi justru muncul dari Denny JA.
Jika benar yang dikatakan Denny JA bahwa ia tak hendak dan belum merasa pantas dimasukkan dalam buku itu, bukankah perkataannya itu sejalan dengan pendapat orang-orang yang menolak keberadaannya dalam buku itu karena memandangnya belum pantas?

Perkataan Denny JA tidak merepresentasikan realitas sesungguhnya. Oleh karena itu, perkataannya dapat diklasifikasikan sebagai tanda dusta, yakni tanda yang tidak simetris dengan realitas. Tanda A yang merepresentasikan realitas B. Perkataanya “Saya tak hendakbermakna “Saya hendak. Alasannya, “Belum merasa pantas bermakna “Sudah merasa pantas”. Demikianlah pembacaan saya atas perkataan Denny JA dalam tulisannya yang ia publikasikan di situs inspirasi.co.


Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini