Proses Kreatif 17 Cerpen Hamsad Rangkuti


Hamsad Rangkuti dikenal sebagai seorang maestero cerpen Indonesia. Cerpen karya peraih penghargaan Katulistiwa Literary Award tahun 2003 untuk kumpulan cerpennya Bibir dalam Pispot ini memiliki kekuatan narasi. Boleh jadi, kekuatan narasinya terasah dalam tradisi tutur masyarakat Sumatra. Saya pernah melihat Hamsad bercerita dalam suatu workshop menulis. Caranya bercerita memang sangat menarik sebagaimana cerpen-cerpennya. Kalau diperhatikan, stile cerpennya mirip dengan stile berceritanya.

Kali ini, saya ingin mengisahkan berbagai riwayat proses kreatif cerpen-cerpen Hamsad Rangkuti yang sangat inspiratif. Kita bisa mengambil pelajaran dari proses kreatifnya.

Cerpen yang Lahir dari Lamunan di Hutan Rambung

Suatu hari, Hamsad Rangkuti menyendiri di hutan rambung. Ia melihat seorang buruh penderas getah lagi menyadap getah di tengah hutan yang sunyi itu. Tidak berapa lama, ada seseorang bersepeda amat tergesa-gesa datang menghampirinya. Mereka terlihat bercakap-cakap, lalu keduanya pergi meninggalkan hutan itu berboncengan dengan sepeda.

Hamsad langsung menjalin cerita dalam kepalanya. Ia membayangkan istri si penderas getah dalam keadaan hamil tua. Saat istrinya itu masuk ke kamar mandi yang lantainya licin di barak mereka, ia terpeleset jatuh dan menderita pendarahan yang parah. Para tetangganya melarikannya ke rumah sakit. Rekan si penderas getah menjemputnya dengan sepeda. Dalam perjalanan ke rumah sakit, ia mengenang perjalanan panjang mereka sebelum jadi kuli kontrak.

Cerpen yang dimuat di Koran Indonesia Baru ini merupakan cerpen pertama yang ditulis Hamsad sekaligus cerpen pertama yang dimuat di koran. Saat itu usianya 16 tahun.

Perseteruan Azan Magrib di Masjid Raya dan Dendang Lagu di Kolam Raja yang Melahirkan Cerpen

Hamsad Rangkuti pernah tinggal di rumah pamannya di Medan. Pamannya itu selalu mengajaknya shalat si masjid, terutama shalat Jumat di Mesjid Raya yang berada di depan Istana Maimun. Di depan istana itu ada kolam raja. Setiap malam, pemkot menjadikannya sebagai tempat rekreasi. Lama-kelamaan, tempat itu menjadi taman hiburan. Dari sana sering terdengar lagu dari pengeras suara yang disetel keras-keras. Suaranya beradu dengan azan magrib.

Kondisi itu memberikan inspirasi bagi Hamsad. Ia menulis cerpen dengan tokoh utamanya sebuah masjid. Setiap kali masjid mengumandangkan azan magrib, orang-orang malah datang ke kolam raja memenuhi panggilan lagu. Cerpen itu dimuat di mingguan Waspada. Melalui cerpen itu, Hamsad mendapat perhatian dari seniman-seniman setempat. Mereka jadi mau meminjamkan buku dan majalah kepada Hamsad.

Cerpen yang Lahir karena Melihat Kerumunan Orang Menyaksikan Khitanan

Dalam perjalan pulang menggunakan sepeda dari rumah keluarganya di Titikuning, Hamsad Rangkuti melihat sebuah kerumunan orang di depan rumah penduduk. Sepedanya terhambat kerumunan orang yang sedang merayakan khitanan anaknya.

Hamsad langsung mendapat ide, ia membayangkan, orang-orang yang berkerumun itu tidak sedang bergembira, tapi berduka. Di tengah ruangan rumah, seorang anak yang baru saja disunat Rasul telah meninggal dunia. Lahirlah cerpen “Sunatan Rasul” yang dimuat Warta Dunia. Gara-gara cerpen itu, Sori Siregar, penulis terkemuka di Medan, mulai mau membalas sapaannya.

Ayah, Pohon Pepaya, dan Keponakan Makcik yang Menginspirasi Lahirnya Cerpen

Suatu kali, Hamsad Rangkuti berkunjung ke rumah Sriwidodo, seorang pelukis yang tinggal di Karet-Kuningan. Rumahnya berada di daerah pedesaan. Banyak pohon papaya tumbuh di halaman rumahnya. Setiap kali Hamsad datang ke rumah temannya itu, ia selalu memandangi pohon-pohon papaya itu. Saat memandangi pohon papaya itu, ia teringat dengan pamannya di Medan yang selalu mengajaknya shalat berjamaah di masjid. Ia juga teringat kepada keponakan istri pamannya itu yang lumpuh dan tinggal di rumah pamannya itu. Tiba-tiba, Hamsad merasa berdosa karena sudah lama meninggalkan kewajiban shalat. Dalam suasana hati semacam itu, ia mengambil pena dan menulis cerpen “Lumpuh”.

Sebuah Ucapan yang Memicu Lahirnya Cerpen

Suatu hari, di Balai Budaya, Hamsad Rangkuti mendengar seorang pelukis senior bernama Oesman Efendi berkata kepada seorang pelukis muda. Katanya, “Kalau kau mau terkenal, penggal kepala patung di Bundaran Senayan. Katakan itu karyamu. Kau akan terkenal!” Ucapan itu merangsang kreativitas Hamsad. Ia pun menulis cerpen berjudul “Dia Mulai Memanjat”. Dikisahkan dalam cerpen itu, seorang lelaki yang hendak memenggal kepala patung di Bundaran Senayan.

Cerita di Oplet yang Melahirkan Dua Judul Cerpen

Waktu Hamsad Rangkuti pulang dari percetakan CV Kosen untuk mengurus pencetakan Horison, ia naik oplet. Di tengah jalan, oplet yang ditumpanginya terhambat kerumunan orang. Sepertinya, sesuatu baru saja terjadi.

Seorang wanita naik ke oplet yang ia tumpangi. Wanita itu menceritakan penjambretan yang baru saja menimpa seorang wanita pemilik kalung emas seberat 25 gram. Wanita lain yang juga mendengar kisah itu nyeletuk. Katanya, ia juga pernah melihat penjambretan di Bandung. Saat penjambret mengetahui kalung yang dijambretnya ternyata imitasi, mereka memaksa korbannya menelan kalung imitasi tersebut. Dari kisah di dalam oplet itu, Hamsad menulis cerpen “Perbuatan Sadis” dan “Pispot”.

Lari Pagi yang Menelurkan Cerpen

Suatu ketika, Hamsad Rangkuti melihat gerobak penjual ketupat saat dia sedang lari pagi. Dari papan namanya, ia mengetahui pedagang itu menjual ketupat gulai paku. Hamsad langsung mampir ke gerobak itu dan memesan ketupat gulai paku. Namun, ia harus kecewa. Ternyata, ketupat yang dijualnya itu tidak pakai sayur paku atau pakis, tetapi sayur nangka. Kata pedagang itu, ia kesulitan menemukan sayur pakis belakangan ini.

Dari kejadian itu, Hamsad menulis cerpen “Ketupat Gulai Paku”. Dikisahkan dalam cerpen itu, seorang lelaki penderita darah tinggi tergiur untuk mampir ke gerobak penjual ketupat gulai paku. Terjadi pertentangan dalam batinnya. Akhirnya, ia memutuskan untuk mampir dan seperti Hamsad, lelaki itu juga harus kecewa karena ketupat yang dipesannya menggunakan sayur nangka.

Cerpen yang Lahir dari Sebuah Berita di Koran

Sebuah berita di koran mengabarkan tentang kesiapsiagaan warga di suatu desa di Jawa yang sangat berlebihan. Warga sangat mencurigai para pendatang yang berkunjung ke desa mereka. Sejak pukul enam sore, warga sudah bersiaga menjaga kampung mereka dari orang yang tak dikenal. Hamsad Rangkuti ingat pengalamannya minum wedang jahe di warung lesehan Malioboro, Yogyakarta. Ia membayangkan, minuman itu telah “memabukkan” warga desa. Lahirlah cerpen “Wedang Jahe”.

Kerinduan pada Kunang-Kunang yang Melahirkan Sejudul Cerpen

Di kampung halamannya, Hamsad Rangkuti mudah sekali menemukan kunang-kunang. Setiap malam, pohon-pohon di sana seperti berubah jadi pohon natal karena nyala kunang-kunang. Saat mengunjungi kampung halamannya setelah 30 tahun tidak datang ke sana, ia tidak lagi menemukan kunang-kunang di sana. Sepulang dari kampung halaman, kepalanya terbentur daun pintu. Saat itulah, ia melihat kunang-kunang berterbangan di depan matanya. Peristiwa itu melahirkan cerpen “Kunang-Kunang”.

Bus Kota yang Memberi Ilham Menulis Cerpen

Hamsad Rangkuti punya pengalaman naik bus kota yang mungkin biasa saja untuk orang lain, tapi tidak untuk sang maestero cerpen itu. Saat naik bus kota, ia membayar ongkos dengan uang 1000. Ongkos bus waktu itu 50 rupiah. Namun, kenek memberikan kembalian hanya 450 rupiah. Ia ngotot. Menurutnya, Hamsad hanya menyerahkan uang 500. Pertengkaran pun terjadi. Kenek tetap pada pendiriannya. Hamsad mengalah. Peristiwa itu mengilhami Hamsad untuk menulis cerpen “1000? 500! 1000!”

Cerpen yang Ditulis karena Fenomena Walkman

Bagaimana perasaan Hamsad Rangkuti kalau ia menyaksikan orang asyik dengan gadget-nya masing-masing? Dulu, walkman pernah jadi tren di Indonesia. Orang-orang berkeliaran di tempat umum sambil menyumpal telinga mereka, mendengarkan lagu. Bagi Hamsad, mereka sangat egois. Alat itu membuat mereka menutup diri dari dunia luar, asyik sendiri. Sebuah cerpen pun lahir untuk mengejek orang-orang yang suka latah mengikuti tren itu. Cerpen itu ia beri judul “Nyak Bedah”.

Pemusnahan Hutan Secara Legal yang Melahirkan Dua Judul Cerpen

Hak Penebangan Hutan (HPH) yang diberikan negara kepada perusahaan-peruhasaan berdampak buruk. Mereka melakukan pemusnahan hutan dengan menebangi pohon-pohonnya. Sebagai bentuk protes, Hamsad Rangkuti menulis dua judul cerpen terkait pemusnahan hutan secara legal oleh pemegang HPH itu, “Palasik” dan “Penyakit Sahabat Saya”.

Kunjungan ke Daerah Transmigrasi yang Melahirkan Cerpen

Hamsad Rangkuti pernah diminta main film yang disutradarai Matnor Tindaon. Syutingnya dilakukan di daerah Tulang Bawang, Lampung, selama sebulan. Selama di sana, ia bergaul dengan para petani transmigran. Dengan begitu, ia jadi banyak tahu masalah-masalah yang dihadapi oleh transmigran. Pengetahuan itu ia gunakan untuk menulis cerpen “Petani Itu Sahabat Saya”.

Cerpen yang Lahir dari Imaji Liar di Atas Kapal Feri

Dalam sebuah perjalanan, Hamsad Rangkuti harus menyeberang Selat Sunda menggunakan kapal feri. Antara Merak-Bakahuni itu, Hamsad menyaksikan seorang wanita cantik di atas geladak kapal. Wanita itu memandangi laut dan Hamsad memandangi wanita itu. Ia membayangkan wanita itu melemparkan satu per satu barangnya ke dalam laut sampai tak tersisa sehelai benang pun menutupi tubuhnya. Imajinasi liar itu menghasilkan cerpen berjudul “Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu”.

Kemuakan yang Melahirkan Cerpen

Hamsad Rangkuti tidak suka melihat tingkah para penyair yang suka nongkrong di Taman Ismail Marzuki (TIM). Ia merasa muak dengan tingkah para penyair itu. Akhirnya, ia menulis cerpen berjudul “Sebuah Sajak”. Ia melampiaskan unek-uneknya dalam cerpen itu.

Pandangan Selintas dari Bus Kota yang Melahirkan Cerpen

Ketika Hamsad Rangkuti sedang naik bus, ia melihat dari jendela bus seorang lelaki menekan kawat sinyal di sisi rel. Seorang wanita yang mengenakan kebaya melangkahi rentangan kawat sinyal yang ditekan lelaki itu. Setelah melintas, wanita itu melemparkan sekeping uang ke dalam kaleng yang berada di tempat duduk si lelaki. Hamsad menyaksikan adegan itu hanya selintas saja, sebelum busnya melaju semakin jauh. Pandangan selintas itu melahirkan cerpen “Hukuman untuk Tom”.

Cerpen yang Lahir karena Kondisi Kritis

Hamsad Rangkuti pernah mengalami sakit parah sampai ia harus dilarikan ke rumah sakit. Pada saat-saat kritis itu, kehidupan masa lalunya, terutama kehidupan masa kecilnya, membayang di hadapannya. Ia seperti melihat orang-orang dekatnya yang telah meninggal dunia. Kondisi batinnya saat menghadapi saat-saat kritis itulah yang melahirkan cerpen “Saya Tidak Sedang Menunggu Tuan”.

Begitulah proses kreatif 17 cerpen karya Hamsad Rangkuti. Menarik sekali, bukan? Kamu bisa juga mencobanya. Selamat mencoba. [pernah dimuat di spoila.net]
Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini