My Life, My Journey


Setelah memarkir sepeda motor, lelaki itu bergegas menuju gedung Fakultas Sastra. Waktu di ponsel telah menunjuk angka 09.00 WIB. Ia tak ingin terlambat di hari pertamanya sebagai mahasiswa baru jurusan Sastra Indonesia. Lima belas tahun ia menunggu saat ini. Lima belas tahun setelah lulus dari SMA. Akhirnya, ia bisa merasakan duduk di bangku kuliah.
“Di mana ruang pertemuan untuk mahasiswa baru gelombang tiga?” tanya lelaki itu pada mahasiswa yang berkumpul di depan pintu fakultas sastra.
“Sebelah kiri, Pak,” jawabnya.
Lelaki itu segera memasuki ruang yang dimaksud. Alhamdulillah, belum terlambat. Sudah banyak mahasiswa baru yang berkumpul dalam ruangan itu. Beberapa dari mereka menatap lelaki yang baru masuk ke ruangan itu. Barangkali mereka tengah menduga-duga, berapa usia lelaki berkacamata itu? Tampangnya tidak seperti anak yang baru lulus sekolah. Apakah ia seorang dosen? Tapi mengapa ia duduk di bangku mahasiswa?
Tak berapa lama, pejabat struktural di lingkungan fakultas sastra masuk ke ruangan. Acara segera di mulai. Namun, ada yang segera meninggalkan ruangan itu. Lelaki itu, lelaki berkacamata. Fisiknya masih tampak dalam ruangan itu. Namun, pikirannya telah jauh meninggalkannya. Duduk di bangku kuliah, di dalam fakultas sastra sebuah universitas swasta di Bogor, menyurutkan waktu jauh ke belakang. Melemparkan pikirannya ke masa ketika segala kegembiraan setelah menerima kabar kelulusan terluapkan. Ya, hari terakhir baginya mengenakan seragam putih abu-abu. Begini ceritanya.
***
Tak ada yang tahu nilai ijazah dan nem kami. Kata “lulus” di dalam surat yang dikirim via pos itu cukup bagi kami untuk menunjukan kegembiraan kepada dunia! Ya, setelah tiga tahun menuntut ilmu… akhirnya!
Selepas menerima surat kelulusan itu, keesokan hari, aku dan teman-teman berkumpul di sekolah. Sebuah ritual usang telah dipersiapkan. Apalagi kalau bukan coret-coretan? Seragam putih abu-abu yang kukenakan segera berubah jadi media grafiti. Tanda tangan teman-teman. Semburan pilox tak beraturan. Bukan saja baju dan celana, rambutku pun tak luput dari semprotan itu.
Namun, setelah semua kegembiraan itu, seorang temanku melontarkan pertanyaan. “Udah daftar UMPTN?”
Tiba-tiba aku teringat Mama yang semalam harus membiarkan matanya terus terjaga sebab pagi hari, pesanan jahitan harus jadi. Tiba-tiba aku teringat Papa yang berjalan tertatih-tatih karena stroke yang menyerang kaki dan tangannya. Stroke itu yang membuat Papa harus berhenti sebagai supir pribadi.
Aku menunduk, “Kayaknya, biar gue lulus UMPTN, tetep aja orang tua gue enggak mampu membiayai kuliah,” ujarku seperti pesimis, tapi sesungguhnya aku hanya sedang berdamai dengan kenyataan. Ya, aku tak mungkin kuliah! Setelah itu apa?
Pendidikan di SMA yang aku tempuh tak pernah mampu menjawab pertanyaan itu. Apakah rumus-rumus fisika dan matematika yang aku pelajari bisa menyelesaikan persoalanku saat ini? Hingga detik ini, aku sendiri tidak tahu, mengapa dan untuk apa rumus-rumus itu harus aku pelajari. Guru tak pernah menjelaskannya dan aku tak menyalahkan mereka.
Bekerja agaknya menjadi pilihan paling masuk akal untukku. Tapi di mana? Perusahaan mana mau terima lulusan SMA yang belum berpengalaman?
“Ada lowongan di pabrik,” kata temanku yang juga tetanggaku, “mau coba ngelamar, enggak?”
Yeah, pabrik. Sepertinya memang tempat itu yang paling mungkin mau menerima aku. Surat lamaran dibuat. Bersama temanku itu, kami pergi ke Citeureup, lokasi pabrik itu berada. Namun, baru sampai pos satpam, maksud kami sudah harus diakhiri.
“Udah enggak ada lowongan, Dik!”
Seorang tetanggaku yang lain mengajakku ke kawasan industri di Cikarang. Kali ini agaknya nasibku lebih baik.
“Ada keperluan apa?” tanya salah seorang satpam.
“Kami mau melamar, Pak” kata temanku.
“Oh, serahkan saja lamaran kepada kami,” kata satpam itu, “nanti diproses.”
“Tidak langsung dites, Pak?”
“Nanti dipanggil.”
Demikianlah, untuk pertama kalinya aku menyerahkan lamaran kepada sebuah perusahaan. Namun, panggilan yang dinanti tak pernah datang. Saat itu, aku baru menyadari bahwa untuk melamar pekerjaan di sebuah pabrik, kita harus memiliki kenalan dekat seorang satpam. Agaknya, satpam memiliki “kekuasaan” untuk menentukan lamaran mana yang boleh diteruskan ke Human Resorse Departement (HRD).
Tawaran selanjutnya datang dari Dian, sepupuku yang bekerja di sebuah pabrik. Agaknya, kali ini akan lebih baik dari sebelumnya. Lamaran kembali dibuat. Keberadaan Dian di pabrik itu seolah menjadi jaminan bahwa kali ini aku akan diterima. Apalagi, ketika satpam mempersilakan aku dan beberapa pelamar lain masuk untuk mengikuti tes. Begitulah. Untuk pertama kalinya aku mengikuti tes calon karyawan di sebuah perusahaan. Aku bisa melewati psikotes itu dengan baik, setidaknya begitu menurutku. Waktu SMA aku pernah mengikuti psikotes serupa, jadi bukan hal yang sulit bagiku. Namun, setelah melewati tes itu, tak juga ada panggilan dari perusahaan.
Sejak itu, aku malas melamar kerja. Aku merasa tidak memiliki “sesuatu” yang bisa aku anggap berharga untuk bisa ditawarkan kepada pemilik perusahaan.
Sambil menikmati masa menjadi pengacara alias pengangguran banyak acara, aku suka mengisi waktu dengan membaca majalah. Sejak SMA aku suka baca rubrik cerpen atau cerber. Entah mengapa, saat aku membaca cerita-cerita di majalah remaja itu, aku merasa bisa menulis hal yang sama. Maka mulailah aku belajar menulis cerpen.
Sementara itu, Mama mulai muak dengan profesi penjahit yang sudah dilakoni sejak remaja. Ia memiliki gagasan lain. Kredit mobil angkutan kota (angkot)! Berbekal uang pinjaman, Mama membayar uang muka untuk kredit angkot. Papa yang meski masih harus menyeret langkahnya, bisa bekerja lagi. Dengan angkot itu aku mulai belajar menyetir mobil. Sedangkan Mama memulai usaha baru, membuka warung mie ayam-bakso.
Masa depan bagaikan papan reklame yang terpancang di depan rumah kami. Agaknya, aku boleh berharap, kedua usaha ini akan membawa keluarga kami keluar dari kesulitan keuangan. Setiap pagi, dengan gairah mengejar kesuksesan, aku membantu Mama menyiapkan dagangan. Aku menyiangi ayamnya, Mama yang memasaknya. Mama menyiangi sawinya, aku membuntal-buntal mie ayamnya. Mama menyiapkan bumbu bakso, aku mencetak bakso-baksonya. Setelah selesai, dagangan siap digelar. Sementara Mama istirahat karena lelah harus ke pasar pukul empat pagi, aku yang melayani pembeli. Malam hari, Papa pulang membawa sejumlah uang hasil narik angkot jurusan Termina-Depok II Timur.
H.M. Soeharto terpilih kembali menjadi presiden Rapublik Indonesia, entah untuk yang keberapa kali. Rupiah anjlok. Harga-harga segera melambung ke angkasa. Mahasiswa mulai turun ke jalan. Demonstrasi di mana-mana. Beberapa mahasiswa trisakti tertembak di Semanggi. Rakyat marah. Entah siapa yang menunggangi, tiba-tiba saja kemarahan itu terlampiaskan pada orang-orang dari etnis Cina. Ruko-ruko milik mereka dijarah sebelum dibakar. Pusat-pusat perbelanjaan seperti api unggun raksasa. Pasar-pasar tutup.
Kelak, aku akan mengenang kerusuhan itu, melalui sepiring nasi goreng, yang aku masak dengan bumbu seketemunya di dapur kami karena pasar-pasar dan warung-warung tutup. Setelah pasar-pasar buka kembali, warung mie ayam-bakso kami tutup. Dolar menginjak-injak rupiah. Pasar-pasar menjual ayam dan daging sapi dengan harga yang tidak masuk akal. Padahal, sebagian modal kami sudah terpakai untuk membeli makanan selama pasar-pasar itu tutup.
Hanya tinggal angkot itu, harapan kami. Agaknya, hasil latihanku selama ini harus segera diparktikan. Aku mulai bergantian dengan Papa dan supir lainnya. Namun, narik angkot ternyata tak semudah kelihatannya. Trayek yang semakin padat, membuat pekerjaan mencari penumpang bukan persoalan gampang. Kalau mau dapat penumpang harus sedikit nakal, main kucing-kucingan dengan polisi. Kalau sekadar ngetem di terminal, rasanya cukup untuk setoran dan beli bensin saja sudah Alhamdulillah.
Gambar masa depan di papan reklame yang semula beresolusi tinggi, semakin hari semakin buram saja, betapapun keras usaha kami untuk memelihara gambaran itu. Masa depan seolah menghilang di balik gumpalan kabut. Apalagi ketika angkot itu akhirnya ditarik dealer karena kami tak mampu membayar kreditnya. Begitulah, aku seperti berjalan di setapak tanpa tahu arah masa depan. Berjalan saja karena hanya berjalan yang bisa aku lakukan.
Aku mulai serius menekuni dunia musik. Semula hanya hobi saja. Setelah mendapat kesempatan tampil sepanggung dengan band-band rekaman dan memperoleh honor sebesar Rp 150.000,- untuk pertama kali, aku mulai menapaki jalan musik. Bersama teman-temanku, membentuk band klasik rock yang mengkhususkan diri membawakan lagu-lagu grup rock legendaries asal Australia, AC/DC. Namun, seperti salah satu judul lagu AC/DC, “It’s a long way to the top if you wanna rock n’ roll”! Padahal, keluargaku tidak bisa menunggu lama. Pinjaman di bank tetap harus dibayar.
Saat menekuni dunia musik itu, cerpen pertamaku “Anyer 10 Januari” dimuat di majalah Aneka Yess! Wah! Betapa gembiranya saya. Agaknya, jalan pena lebih menjanjikan masa depan. Aku segera membeli majalah yang memuat cerpenku lalu pergi ke kantor redaksi Aneka Yess! untuk mengambil honornya. Honor sebesar Rp 75.000,- aku belikan tiga eksemplar buku bekas seharga Rp 9000,-. Sisanya aku berikan kepada Mama. Sayangnya, honor itu jauh dari cukup untuk membantu membayar cicilan pinjaman di bank. Apalagi, sejak cerpen pertama itu,  cerpen berikutnya tak kunjung dimuat. Aku harus bekerja!
Sepupu iparku kemudian menawarkan sebuah pekerjaan.
“Saya malas bikin lamaran, Mas,” kata saya ketika itu.
“Tak perlu bawa lamaran,” ujarnya, “datang saja ke jalan Margonda.”
Aku mengenal sepupuku itu sebagai pegawai sebuah showroom kendaraan. Aku pikir, dia menawarkan pekerjaan di tempatnya. Rupanya, sudah lama dia meninggalkan pekerjaan itu. Dia memilih untuk menjadi penjual mobil bekas. Kebetulan, salah seorang temannya yang memiliki showroom mobil bekas, membutuhkan karyawan. Maka bertemulah aku dengan sepupuku itu di sebuah showroom di daerah Margonda.
Tak perlu lamaran, tak ada tes, tak ada wawancara. Hanya sedikit penjelasan mengenai pekerjaan yang akan aku lakukan dan berapa aku akan dibayar. Gaji pokokku Rp100.000 per bulan dengan uang makan Rp5000,- per hari. Penghasilan itu masih ditambah dengan bonus Rp 10.000,- untuk setiap mobil yang laku. Yeah, untuk lulusan SMA tanpa pengalaman kerja—dengan orang lain maksudnya—penghasilan itu lumayanlah. Setidaknya, aku bisa membeli majalah sendiri. Pernah dalam satu bulan, showroom tempat aku bekerja mampu menjual 30 unit mobil. Bulan itu aku memperoleh penghasilan sebesar Rp 550.000,-.
Namun, pekerjaan di showroom itu pun tidak mudah. Aku harus bekerja serabutan; Mencuci mobil, melayani pelanggan, membeli onderdil mobil yang rusak, sampai memperbaiki pompa air. Belum lagi, setiap malam aku harus tidur di lantai, di antara mobil-mobil yang terparkir di dalam ruko itu. Pernah aku tidur di dalam mobil. Tengah malam, tiba-tiba dadaku sesak. Seperti ada yang mencekik tenggorokanku sampai aku tak bisa bernafas!
Sambil bekerja di showroom itu, aku mulai rajin kembali menulis cerpen sambil menambah repertoar lagu-lagu kami. Sampai suatu pagi, aku terbangun dengan badan remuk redam. Aku merasa sangat letih. Dan berpikir, tak akan mungkin bisa maju jika terus bertahan di showroom itu. Aku ingin menghasilkan uang dengan otakku, bukan ototku! Sebuah keinginan yang muluk-muluk bagi lulusan SMA sepertiku, bukan? Pagi itu juga, aku tinggalkan showroom itu. Aku berhenti bekerja!
Sejak berhenti kerja di showroom, produktifias menulisku kian bertambah. Mama memulai usaha baru. Masih berdagang makanan. Kali ini Mama mencoba menjual gorengan. Sambil menulis dan mencoba memelihara mimpi menjadi pemusik, aku membantu Mama jualan gorengan; bakwan, tahu isi, tempe, oncom, dan lain-lain. Keuntungannya memang tidak sebesar usaha mie ayam bakso kami, tapi cukup bagi kami untuk bertahan hidup. Apalagi, adik perempuanku mulai bekerja di perusahaan yang mengelola parkiran.
Namun, petugas dari bank datang mengigatkan. Sudah lama kami tidak membayar cicilan pinjaman. Apa boleh buat, kami harus merelakan rumah warisan dari Nenek kami dijual dengan harga murah untuk melunasi pinjaman bank. Babak baru kehidupanku dimulai. Aku dan keluargaku harus mengontrak rumah petak yang kondisinya jauh dari kata nyaman dengan harga yang cukup murah.
 Begitulah. Di rumah kontrakan baru itu, aku mulai menekuni sepenuhnya profesi sebagai penulis cerpen di majalah Aneka Yess!. Meski penghasilan dari menulis itu jauh dari bonus yang aku dapatkan dalam satu bulan dari showroom tempat aku bekarja, entah mengapa, aku begitu yakin dengan masa depanku sebagai penulis. Aku seperti telah menemukan jalan hidupku. Perlahan, aku mulai melepas mimpiku menjadi seorang musisi. Apalagi saat cerpenku dimuat untuk pertama kalinya di majalah Annida, sebuah majalah remaja islami. Ketika itulah, aku mulai mengenal sebuah organisasi kepenulisan, Forum Lingkar Pena (FLP).
Aku berkenalan dengan Melvi Yendra, salah seorang redaktur di majalah Annida yang juga anggota FLP. Suatu hari, dia mengajaku mengujungi pembukaan perpustaan yang dikelola oleh FLP, Rumah Cahaya (Rumah baCA Hasilkan karYA). Aku banyak mengenal FLP sebenarnya dari salah satu buku yang ditulis oleh Gola Gong. Aku memang mengagumi pengarang yang juga pendiri tamaan bacaan Rumah Dunia itu. Sejak itulah aku tertarik bergabung dengan FLP dan aku pikir, pertemuanku dengan Melvi di Rumah Cahaya akan menjadi jalan pembuka bagiku untuk bergabung dengan organisai itu. Namun, kenyataannya, aku terlalu pemalu untuk begabung dengan mereka.
Dari salah satu buku antologi cerpen FLP Depok, aku mendapatkan alamat email Laura Khalida, ketua FLP cabang Depok. Laura kemudia memasukan aku ke milis anggota FLP Depok. Milis itu memang tidak terlalu ramai. Namun, sejak itu, aku mulai merasa menjadi bagian dari FLP.
Suatu kali, Aveus Har, salah seorang teman penulisku di Aneka Yess! yang tinggal di Pekalongan menghubungiku. Rupanya dia telah bergabung dengan FLP Pekalongan. Ia ingin berkunjung ke Depok untuk menyerahkan naskah karya mereka ke penerbit Lingkar Pena Publishing House yang berkantor di Rumah Cahaya. Asma Nadia, salah seorang pengarang senior FLP menjadi CEO di penerbitan itu. Kebetulan aku memiliki nomor ponselnya dari Melvi Yendra. Aku segera mengirimkan pesan singkat ke Mbak Asma. Dala pesan singkat itu aku sampaikan bahwa aku ingin mengantar teman-teman dari FLP Pekalongan ke Rumah Cahaya.
Begitulah, aku mengantarkan Aveus Har dan ketua FLP Pekalongan ke Rumah Cahaya. Nanik Susanti, salah seorang editor di Lingkar Pena Publishing House menerima kedatangan kami, kebetulan Mbak Asma belum tiba. Saat Mbak Nanik mengetahui kalau aku dan Aveus Har banyak menulis di majalah Aneka, ia meminta kami megirimkan cerpen-cerpen kami. Tentu saja aku tak segra menerima tawaran menarik itu. Aku meminta waktu untuk merevisi cerpen-cerpenku agar sesuai dengan visi misi penerbit itu yang tentu saja sejalan dengan visi misi FLP. Sebulan kemudian, aku datang lagi menemui Mbak Nanik, menyerahkan sebuah naskah novel. Ya, cerpen-cerpen yang aku revisi itu ternyata malah menjadi sebuah novel. Jalan sebagai penulis mulai terbuka lebar. Apalagi saat Mbak Nanik menghubungiku dan mengatakan kalau naskahku akan diterbitkan!
Saat naskahku dalam proses penerbitan, tsunami merendam Aceh hingga membuat serambi Mekah itu seperti padang reruntuhan. FLP menyiapkan acara galang dana untuk membantu Aceh. Melalui email, Mbak Asma memintaku membantu menyebarkan poster acara yang akan diadakan di Taman Ismail Marzuki (TIM) itu. Tentu saja aku tak menolak. Aku segera mengambil poster-poster itu di kantor Lingkar Pena Publishing House. Di sana, aku bertemu degan Koko Nata yang namanya aku kenal melalui sebuah buku yang ditulis bersama Jazimah al Muhyi, pengarang FLP dari Yogyakarta. Rupanya, Koko yang baru hijrah dari Palembang, bermaksud untuk menghidupkan kembali FLP Depok yang mati suri. Saat aku bertemu Koko di TIM, aku mengatakan kepadanya kalau aku terarik bergabung dengan FLP Depok. Koko malah menawariku jadi salah seorang pembicara di acara perekrutan anggota baru FLP Depok. Tantu saja aku menolaknya. Aku tak cukup percaya diri untuk menjadi pembicara. Apa yang bisa dibicarakan oleh anak lulusan SMA macam aku?
Pada akhirnya, aku memang tak jadi pembicara di acara perekrutan angota baru FLP Depok. Namun, boleh dikatakan, acara itu menjadi awal keterlibatanku dengan FLP Depok. Aku merasa seperti sebangsa ikan yang baru bertemu dengan spesiesnya. Semula aku ingin bergabung dengan FLP Depok karena ingin belajar menulis dari senior-senior di FLP. Akan tetapi, Koko malah memintaku menjadi salah seorang mentor di salah satu grup diskusi di FLP Depok. Kali ini aku tak cukup alasan untuk menolak permintaan Koko. Begitlah, akhirnya aku menjadi mentor di FLP Depok. Agar tak kelihatan terlalu bodoh, aku banyak membaca buku-buku tentang penulisan. Rupanya, kegiatan itu menjadi jalan bagiku untuk belajar. Ya, aku belajar dengan cara mengajar.
Leyla Imtichanah, editor Lingkar Pena Publishing House yang baru terpilih di kepengurusan pusat sebagai sekretaris divisi Rumah Cahaya, memintaku membantunya mengelola taman bacaan Rumah Cahaya. Barangkali karena rumahku memang dekat dengan Rumah Cahaya, maka ia memintaku membantnya. Belakangan, aku malah diminta menjadi ketua atau penanggung jawab Rumah Cahaya Depok. Wah! Sekali lagi aku tak dapat menolak. Beruntung teman-teman di FLP Depok banyak membantu. Dari sana aku mulai belajar berorganisasi.
Entah kasihan karena hingga nyaris kepala tiga belum juga memiliki penghasilan tetap, atau karena aktivitasku di Rumah Cahaya, Mbak Asma mengirim informasi melalui SMS. Balai Bahasa tengah membutuhkan pegawai baru yang mampu menganalisis sastra. Aku kemudian menghubung Pak Elvis Iskandar, seorang manajer di tempat itu. Beliau mengatakan kalau perusahaannya membutuhkan lulusan S1 yang bisa menulis dan menganalisis sastra.
Aku tidak percaya diri melamar diri untuk melamar ke tempat itu, tapi aku menyukai sastra dan mulai mendalaminya. Apalagi Pak Elvis tetap mempersilakan aku datang membawa CV dan surat lamaran. Aku baca buku-buku teori sastra dan kritik sastra. Dengan membawa sedikit pengetahuan susastra, CV, surat lamaran kerja, dan buku-buku karyaku, aku mendatangi alamat yang diberikan oleh Pak Elvis. Gunung Sahari Raya No. 4. Ternyata bukan Balai Bahasa seperti yang Mbak Asma katakan, melainkan penerbit Balai Pustaka.
Hari itu juga aku langsung diwawancarai oleh direksi PT Balai Putaka; Pak Zaim Uchrowi dan Pak Fari Kono. Barangkali ini pengalaman pertama aku mengikuti wawancara kerja. Sebenarnya tidak persis benar dikatakan sebagai wawancara. Aku hanya diajak ngobrol-ngobrol mengenai dunia perbukuan. Rupanya mereka membutuhkan asisten manajer untuk buku anak. Seorang lulusan SMA jadi asisten manajer buku anak? Rasanya aku tak boleh terlalu berharap banyak. Mana mungkin mereka mau menyerahkan jabatan itu pada seorang lulusan SMA yang hanya memiliki pengalaman kerja sebagai penulis lepas!
Namun, keyakinan aku keliru. Aku diterima bekerja di Balai Pustaka. Sebuah penerbitan yang telah berdiri sejak zaman kolonial Belanda! Sebuah penerbitan yang banyak melahirkan sastrawan-sastrawan hebat macam Marah Rusli, Abdul Muis, Sutan Takdir Alisjahbana, HB Jassin, Idrus, dan lain-lain. Pada saat bekerja di Balai Pustaka itu, pengalamanku mengelola organisasi memberikan banyak manfaat.
***
Begitulah ceritanya. Setelah satu tahun ia menjadi Asisten Manajer Buku Anak dan Remaja di Balai Pustaka, ia dimutasi ke bagian yang paling digemari: Sastra! Hampir tiga tahun setelah mutasi itu, ia mulai merasa perlu menambah pengetahuan di bidang sastra. Ia mendaftarkan diri mejadi mahasiswa fakultas sastra di Universitas Pakuan. Ia megambil jususan sastra Indonesia.
Akhirnya, setelah hampir lima belas tahun selepas lulus SMA, ia bisa kuliah. Saat itu, Pak Dedi Yusar, sekeretaris jurusan sastra Indonesia menayainya, “Mengapa Bapak yang sudah bekerja di Balai Pustaka mau kuliah lagi?”
Mendengar pertanyaan sekjurnya itu, ia teringat pada HB Jassin. Ketika HB Jassin kuliah di Universitas Indonesia, dia sudah dikenal sebagai kritikus sastra yang mendapat julukan Paus Sastra Indonesia. Ketika kuliah di UI itu, bahkan HB Jassin juga mengajar di sana.
Lalaki itu juga teringat pada seorang dosen IPB yang pernah bergabung di FLP Bogor. Ketika dosen itu ditanya, “Mengapa Bapak yang seorang dosen mau ikut FLP?” Dosen itu menjawab, “Saya percaya di dunia ini hanya ada dua profesi; pengajar dan pelajar. Kalau saya tahu maka saya mengajar, kalau saya tidak tahu maka saya harus belajar. Sebab itu saya berada di sini.” Jawaban dosen itu agaknya bisa menjawab pertanyaan sekretaris jurusannya itu.
Demikianlah.

Bantar Kemang, 15 Oktober 2011 
Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini