Love Messages #5

Oleh De Zha Voe



Arga kelimpungan gak karuan. Tidak puas mengobrak-abrik isi tasnya, tas Argi jadi sasaran berikut. Dia menarik tas punggung Argi dari dalam laci meja. Namun, belum sempat Arga menjamah isi tas itu, si pemilik tas sudah keburu datang.

“Jangan coba-coba kalo jidat lo gak mau gue bombardir sama jitakan!” ancam Argi yang baru kembali bersama Dini dari kantin sekolah.

Arga tidak menggubris ancaman Argi. Dia nekat menumpahkan isi tas Argi ke atas meja.

Pletak!

“Adow!” Arga mengusap-usap keningnya yang baru aja jadi sasaran rudal jitak Argi.

“Ngapain sih lo bongkar-bongkar tas orang?!” Argi sewot. Dia memunguti buku-buku dan peralatan menulisnya yang berceceran di atas meja, sebagian ada yang jatuh ke lantai kelas.

“Hp gue,” Arga panik, “ada sama elo kan, Gi?”

“Nggak.”

“Alaa... biasanya juga elo suka diem-diem ngembat Hp gue!”

“Hari ini lagi gak biasa.”

“Elo kali, Din!” tuding Arga.

“Bagusan juga Hp gue!” ujar dini sambil memerkan Hp barunya.

“Bagus juga sering gak ada pulsanya,” seloroh Arga.

“Enak aja!”

“Aduh... serius dong lo pada!”

“Suer, Ga!” jawab Argi dan Dini nyaris berbarengan.

“Lo biasanya suka nyimpen Hp di meja redaksi,” ujar Dini.

“Aha!” Arga segera melesat meninggalkan kelasnya. Tapi baru beberapa langkah dari ambang pintu kelas, dia menghentikan langkahnya. Kembali ke kelas dengan wajah lesu.

“Kenapa, Ga? Udah ketemu?” tanya Dini.

“Ketemu apanya? Dari gue nyampe di sekolah ini, sampai detik gue ngomong sekarang ini, gue belom menginjakkan kaki ke ruang redaksi. Jadi gimana mungkin Hp gue bisa ada di sana.”

“Udah coba dimiscall?”

“Aha!” harapan kembali terbit di dada Arga, “kenapa gue gak kepikiran ya?”

“Emangnya elo punya?”

“Punya apa?”

“Pikiran.”

Arga menggelengkan kepala. “Kalo gue punya pikiran, pasti gue gak bakal sudi kembaran sama elo!”

“Siapa juga yang sudi kembar sama elo!” balas Argi.

Dini cuma bisa geleng-geleng kepala menyaksikan makhluk kembar di hadapannya, yang mirip anjing sama kucing, berantem terus kerjaannya. Tapi mending mereka bertengkar. Soalnya, kalo lagi akrab, ada saja yang jadi korban kejailan kedua makhluk kembar itu!

“Din, gue liat Hp baru lo, dong?”

“Ala... basi lo!” kata dini, “Bilang aja mau minta pulsa!”

“Ada kan?”

“Gak ada!” cibir Dini, “Tadi kan elo sendiri yang bilang Hp gue baru juga gak ada pulsanya!”

“Yah, itu kan tadi. Beberapa menit yang lalu. Sekarang beda lagi.”

“Pokoknya... gak ada!”

Tiba-tiba Fifi nyelonong masuk ke dalam kelas mereka. Wajahnya cemas. Ketakutan. Seperti seorang yang sedang dikejar-kejar penagih hutang.

“Umpetin Fifi, Dong! Umpetin Fifi, Dong!” kata gadis Minang itu seraya membenamkan dirinya ke bawah meja belajar Argi.

“Kenapa lo?” tanya Argi, “Dikejar-kejar Mbak Ela ya?”

“Bukan, bukan,” jawab Fifi dengan napas tersengal, “bukan nenek sihir itu.”

“Terus nenek yang mana lagi?”

Belum sempat Fifi menjawab pertanyaan yang dilontarkan Dini, sudut mata Arga menangkap sosok pemuda culun berkaca mata tebal, berbibir tebal, dan bermuka tebal keluar dari dalam kelas Fifi yang ada di seberang kelasnya, celingukan. Di tangan cowok itu tergenggam setangkai mawar merah yang sudah mau layu.

“Bay, Bayu!” panggil Arga dari jendela kelasnya.

“Arga jangan gila, deh!” Fifi keluar dari kolong meja bermaksud menjitak Arga, atau setidaknya melemparkan bangku ke arah kembaran Argi itu. Tapi belum sempat dia melaksanakan hajatnya, dilihatnya Bayu melangkah menghampiri Arga. Fifi kembali membenamkan dirinya ke kolong meja Argi.

“Ada apa, Ga?” tanya Bayu. Berdiri di depan jendela kelas Arga.

“Elo nyari siapa?”

“Cari Fifi. Arga lihat Fifi nggak?”

“Oh, si Fifi?”

“Iya. Bayu mau memberikan bunga ini untuknya.”

“Liat.”

Buk!

“Aduh!” Fifi meringis kesakitan. Tendangan yang Fifi arahkan ke kaki Arga salah alamat. Dia malah mengadu tulang keringnya dengan kaki kursi.

“Seperti suaranya Fifi?” Bayu melongok dari jendela.

“Ah, gak mungkin, Bay!” kata Arga, “Elo salah denger kali.”

“Bayu hapal betul dengan suara Fifi. Suara Fifi selalu terngiang-ngiang di dalam telinga Bayu. Setiap saat.”

“Lagi tidur juga?”

Bayu mengangguk.

“Ah, jangan-jangan sekarang lo lagi tidur?” ujar Arga.

“Bayu sendiri nggak tahu, Ga, apakah saat ini Bayu sedang tertidur atau terjaga. Yang Bayu tahu, dalam keadaan apa pun selalu Fifi yang ada di dalam pikiran Bayu.”

“Eh, elo mau tau gak Fifi lagi ada di mana?”

“Tentu saja Bayu mau!”

“Ada syaratnya.”

“Apa?”

“Pinjemin gue Hp dulu.”

“Buat apa?”

“Buat nelepon dong. Masak buat ngejitak palanya Argi?”

“Coba aja kalo lo berani!” tantang Argi.

“Maksud Bayu Arga mau nelepon siapa?”

“Gue mau telepon ke Hp gue.”

Bayu garuk-garuk kepala. “Masak nelepon ke Hp sendiri?”

“Udah deh, gak usah kebanyakan mikir! Tar kaca mata lo makin tebel aja lagi!”

Bayu mengeluarkan Hp-nya memberikannya kepada Arga. Arga segera menghubungi nomer Hp-nya. Terdengar nada sambung. Tapi setelah itu terdengar suara operator: “Maaf pulsa anda tidak cukup untuk melakukan panggilan keluar, harap...”

“Ah, Hp kagak ada pulsanya lo kasih gue!” ujar Arga kesal, seraya mengembalikan Hp milik Bayu.

“Lho, tadi kan Arga bilang mau pinjem Hp, bukan minta pulsa,” kata Bayu.

Giliran Arga yang garuk-garuk kepala. Bener juga ya...

“Terus, Fifinya gimana?”

“No pulsa, no Fifi!”

“Yah, Arga kok gitu, sih?”

“Lo mau tahu ke mana si Fifi?” celetuk Argi.

Di kolong meja Fifi ketar-ketir. Argi kalo sudah jail memang suka nggak liat-liat teman. Dia mencubit kaki Argi. Tapi Argi berhasil berkelit, menjulurkan lidah, meledek Fifi.

“Memangnya Argi tahu di mana Fifi?”

“Meong...” seekor kucing melintas di dekat kaki Bayu.

“Nah,” tuding Argi ke arah kucing belang itu, “itu dia si Fifi!”

Bayu mengerutkan kening. “Fifi? Kucing belang itu?”

“Iya!” kata Argi meyakinkan, “Fifi kan siluman kucing. Pada saat-saat tertentu dia bisa berubah jadi kucing!”

Mendengar kata-kata Argi, Arga, Dini, bahkan Fifi yang lagi sembunyi di kolong meja tersenyum-senyum menahan tawa.

“Bay, Bay,” Dini menuding kucing belang yang mulai melangkah menjauh dari kaki Bayu, “Si Fifi pergi, tuh!”

“Oh, Fifi!” Bayu mengejar kucing belang. Kucing itu langsung ambil jurus langkah se-milyar begitu melihat Bayu datang mengejarnya. “Fifi... jangan tinggalkan Bayu!”

Semua siswa yang menyaksikan adegan kejar-kejaran antara Bayu dan kucing belang gak mampu menahan tawa, sampai terpingkal-pingkal. Semua anak yang lagi ada di dalam kelas segera merapat ke jendela, ingin menyaksikan adegan langka yang baru pertama kali terjadi di sekolah mereka. Fifi keluar dari persembunyiannya di kolong meja Argi masih sambil tertawa-tawa.

“Fi, gue liat Hp lo dong?” rayu Arga.

“Huh.” Rengus Fifi, “Sok basa-basi deh. Bilang aja langsung ‘Fi, gue minta pulsa dong?’ gitu!”

“Hehehe...” Arga nyengir-nyengir badak (emang badak suka nyengir?), “Kalo Hp gue ketemu entar lo gue traktor deh! Lagian gue kan udah nolongin elo dari Bayu.”

“Enak aja! Emang Fifi bangunan liar, mau lo traktor!”

“Traktir, traktir! Masa gitu aja gak tau, sih?”

“Beneran nih, mau traktir Fifi?”

“Iya.”

“Ehm... Argi sama Dini juga?”

Solider juga nih anak... pikir Dini danArgi.

“Yah, mereka mah gak usah!”

Fifi melirik ke arah Dini dan Argi. Kemudian tersenyum.

“Iya, deh, Fifi mau.” Fifi memberikan Hp-nya pada Arga.

“Huuu!” teriak Dini dan Argi berbarengan, “Kita kira mah elo solider sama teman!”

Arga mencari namanya di phonebook Hp Fifi. Lalu menghubunginya. Terdengar nada sambung. Bersamaan dengan itu, terdengar suara ringtone ponsel mengudara, mengisi ruang udara di kelasnya. Arga melihat Toing yang lagi duduk di bangkunya mengeluarkan Hp dari saku bajunya, menerima telepon. Merek dan serinya persis banget sama punya Arga. Tanpa usaha diplomasi sama sekali, Arga berteriak: “Hp gue, tuh!”

Arga merebut Hp dari tangan Toing.

“Elo apa-apa sih!”

Terjadi adegan tarik menarik antara Arga dengan Toing. Arga gak menyadari kalo sejak tadi seseorang yang menemukan Hp-nya menjawab panggilannya. Sampai Hp yang mereka perebutkan terjatuh ke lantai. Kembali terdengar ringtone Hp yang tadi diperebutkan Toing dan Arga mengudara.

Secepat kilat Arga menyambar Hp itu. lalu menerima panggilan.

“Halo, Toing!” ucap seseorang di seberang, “minggu depan kita jadi touring ke Anyer...”

Kening Arga berkerut. Touring? Dia menyerahkan Hp di tangannya kepada Toing, sambil tersenyum-senyum penuh dosa. “Hehehe... Buat lo nih, Ing...” katanya.

***

Argi baru saja hendak meninggalkan halaman sekolahnya bersama Dini, ketika sebuah Honda Crivic warna merah muda berhenti persis di depan gerbang sekolah. Seorang cowok jangkung bertubuh atletis, berkulit putih bersih keluar dari dalamnya.

Dini menyikut pinggang Argi. “Cowok keren banget, noh!”

Argi menoleh ke cowok pemilik Honda Crivic itu. “Wooooww...!” matanya melotot. “Adow!”

“Awas Gi, tiang telepon!” Dini memperingati.

“Udah kena tau!” Argi meringis memegangi jidatnya yang baru saja dicium sama tiang telepon, yang berada persis di seberang Honda Crivic itu di parkirkan.

Dini tertawa terkekeh menyaksikan sebuah bukit berwarna merah muncul di jidat Argi.

Argi menyepak tiang telepon itu. Geram. “Siapa sih yang naro tiang telepon di sini?”

“Kamu gak pa-pa?” tegur cowok keren yang wajahnya mirip ayamnya Argi, Delon. Hihihi... bukan ding, maksudnya mirip si Delon yang menang Indonesian Idol itu!

“Nggak, nggak apa-apa kok. Cuma...”

“Benjol doang!” serobot Dini, “Hihihi... Adow!”

Argi menginjak kaki Dini.

Cowok keren itu tersenyum melihat tingkah Argi dan Dini.

Argi mengerutkan keningnya. “Eh, kayaknya kita pernah ketemu deh?”

“Sok kenal lo, Gi!” bisik Dini di telinga Argi.

Cowok berparas tampan itu tersenyum.

Argi garuk-garuk kepala. Berusaha mengingat-ingat. “Duh, di mana ya...”.

“Pensi,” tebak cowok itu.

“Oh... ya, ampun!” Argi menepuk jidatnya, “Elo ketua OSIS SMU Cakra kan? Da... Da...”

“Dava!” sambar Dava.

“Ya, Dava,” Argi menepuk jidatnya. “Kok gue bisa lupa ya?”

“Elo kan emang pelupa, Gi.”

“Hehehe...”

“Elo yang waktu itu ngeliput acara barengan Arga, kan?"

“Iya. Yang nabrak elo,” Argi teringat dengan kejadian saat pertama berjumpa dengan Dava..

“Terus nyiram baju gue pake air mineral.”

“Elo tega banget, Gi!” timpal Dini.

“Yah, gue kan nggak sengaja...”

“Makanya, kalo minum jangan sambil jalan,” kata Dava sambil memamerkan senyum manisnya.

“Ngomong-ngomong ada keperluan apa nih, ke sini?” tanya Argi.

“Arga.”

“Mau ketemu Arga?”

“Iya. Ada perlu sedikit sama dia.”

“Wah, si Arga udah pulang duluan sama Fifi,” terang Argi. “Katanya sih mau mampir dulu ke Es Teler 007.”

“Fifi?”

“Iya.”

“Pacarnya?”

“Wah, si Arga mana mau pacaran sama cewek.”

“Maksudnya?”

“Yah, dia itu emang agak-agak alergi sama yang namanya pacaran. Padahal yang naksir dia bejibun lho! Gak tau deh apa yang cewek-cewek liat dari makhluk gokil itu...”

“Gokil? Hahaha...” tawa Dava meledak.

“Elo ada perlu apa sama dia?”

Dava mengambil sesuatu dari saku bajunya. Sebuah handphone.

“Eh, itu kan handphonenya si Arga!”

“Iya. Gue mau ngembaliin ini. Tadi pagi handphonenya jatoh di mobil gue.”

“Wah, seharian tadi dia belingsatan gak karuan nyariin handphone-nya! Ternyata elo yang nemuin.Udah titip aja sama gue.”

“Titipin di elo?” kata Dava, “Emang elo mau ke rumahnya Arga?”

Argi dan Dini saling berpandangan. Kemudian tawa keduanya pun meledah. “Huahahahaha...”

“Kenapa?” Dava bingung.

“Emangnya elo belom tau, ya?” tanya Dini.

Dava geleng-geleng kepala.

“Arga itu tinggal serumah sama dia!” jelas Dini, menuding ke arah Argi.

“Serumah? Emangnya kalian... udah nikah???”

Kembali Argi dan Dini tertawa terpingkal-pingkal.

“Gue sodaraan sama Arga.”

“Sodara kandung!” tambah Dini.

“Ooo...” bibir Dava membulat. Lalu tersenyum malu.

“Eh, kok bisa sih handphonenya Arga jatuh di mobil lo? Emangnya tadi pagi dia nebeng sama elo?”

“Cuma sampe pertigaan lampu merah doang. Terus dia ikut temannya naek vespa.”

“Berarti kita bisa juga dong pulang bareng mobil lo?” todong Dini.

Argi menyikut pinggang Dini. “Gak tau malu lo!”

Dava tersenyum menahan tawa. “Gak apa-apa, lagi. Yuk!”

“Asyik!” seru Argi melompat kegirangan.

“Huh!” Dini mencubit lengan Argi.

“Auch!” Dini meringis, “Apaan sih lo!”

“Tadi aja sok ngatain gue nggak tau malu!”

“Hehehe...” []




Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini