Novel SN karya Marah Rusli
diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka tahun 1922, dua tahun setelah
diterbitkannya Azab dan Sengsara
karya Merari Siregar. Sejak diterbitkan, SN
dibicarakan oleh banyak pengamat sastra baik dari dalam negeri maupun dari
luar negeri. Penelitian terhadap novel tersebut pun sudah banyak dilakukan.
Dalam tinjauan pustaka ini, penulis hanya akan memaparkan beberapa hasil
penelitian berupa skripsi, tesis, buku, atau artikel yang relevan dengan
penelitian ini.
Hana Fedora Husada, mahasiswa Jurusan Sastra China Fakultas Sastra
Universitas Kristen Maranatha Bandung, menulis skripsi berjudul Perbandingan Novel Loe Fen Koei dan Roman
Sitti Nurbaya yang diajukan sebagai syarat kelulusan pada Agustus 2013.
Dalam penelitiannya tersebut, Hana membandingkan penokohan dan tema sebagai
unsur dominan dalam kedua karya tersebut. Tokoh yang dibandingkan adalah tokoh
utama antagonis dan protagonis. Analisis dilakukan dengan melihat cara pengarang
dalam menghadirkan tokohnya kepada pembaca dengan menggunakan metode deskripsi
komparatif. Setelah membandingkan penokohan, dibandingkan tema kedua novel
tersebut. Hana menyimpulakan, novel Loe
Fen Koei dan Roman Sitti Nurbaya memiliki tema yang sama, yaitu uang dan cinta.
Yasinta Seting, mahasiswa Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Wijaya
Putra, menyusun skripsi dengan judul An
Analysis of Character of Sitti Nurbaya and Nationalism in Rusli’s Sitti Nurbaya tahun 2014. Skripsi tersebut membahas bentuk
nasionalisme dalam SN dan karakteristik tokoh Sitti Nurbaya. Dalam
skripsinya tersebut, Yasinta menyimpulkan bahwa nasionalisme yang muncul dalam SN berbentuk perlawanan masyarakat
Minang pada pemerintah kolonial Belanda yang menerapkan belasting. Yang
menarik, dalam simpulannya, ia menilai tokoh Samsulbahri masih memperlihatkan
kecintaannya kepada tanah kelahirannya maski secara lahiriah tokoh tersebut berada di pihak Belanda. Pendapatnya
tersebut didasari oleh sikap Samsulbahri yang merasa berat saat harus memerangi
bangsanya sendiri dan keinginan Samsulbahri agar jasadnya dimakamkan di
negerinya. Sementara itu, Datuk Meringgih yang sejak awal digambarkan sebagai
tokoh antagonis dianggap berjasa karena telah membangkitkan semangat masyarakat
pribumi untuk menentang kebijakan pemerintah Belanda. Namun, Yasinta tidak
melihat sikap kedua tokoh tersebut sebagai persoalan ideologis.
Yeni Mulyani Supriatin dari Balai Bahasa Bandung menulis artikel
“Nasionalisme dalam Sitti Nurbaya karya
Marah Rusli”. Artikel tersebut dimuat dalam Jurnal
Sosioteknologi edisi 19 tahun 9 pada April 2010. Dalam artikel tersebut,
Yeni mengangkat masalah bentuk nasionalisme yang terkandung dalam novel SN. Yeni menyimpulkan bahwa nasionalisme
dalam novel tersebut muncul dalam bentuk perlawanan terhadap pemerintah
kolonial Belanda dengan menolak belasting. Yeni juga melihat nasionalisme dalam
diri tokoh Samsulbahri melalui ketidakrelaannya saat ditugaskan untuk menumpas
bangsanya sendiri dan keinginannya untuk dikubur di tanah kelahirannya sendiri.
Simpulan yang dikemukakan oleh Yeni ini tidak jauh berbeda dengan yang
disampaikan oleh Yasinta Senting dalam skripsinya. Sebagaimana Yasinta, Yeni
juga tidak melihat tokoh Samsulbahri yang berbaju Belanda, tetapi masih
mencintai negerinya sebagai persoalan ideologis. Mengapa Samsulbahri bergabung
dengan tentara Belanda jika niatnya ikut berperang hanya mengharapkan
kematiannya? Yeni dan Sinta tidak melihat kemungkinan tersebut karena tidak
mengaitkan novel SN dengan Balai
Pustaka sebagai perpanjangan tangan pemerintah kolonial Belanda.
Maman S. Mahayan, kritikus sastra dan pengajar di Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Indonesia, menulis “Nasionalisme Sitti Nurbaya” dalam bukunya yang berjudul Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia (Jakarta: Rajawali Press,
2007:124—141). Ada tiga permasalahan yang diangkat dalam tulisannya itu: (1)
ideologi pengarang yang berkaitan dengan masalah nasionalisme, (2) kebijakan
Balai Pustaka sebagai badan penerbit, dan (3) hubungan Sitti Nurbaya dengan karya Marah Rusli lainnya yang terbit
kemudian. Dalam tulisannya itu, Mahayana mengungkapkan sikap pengarang yang
menyangkut pendidikan dan harkat kaum wanita pada bagian XII novel Sitti Nurbaya. Dalam masalah itu, ia
menilai pandangan pengarang sejalan dengan kebijakan Balai Pustaka. Pandangan
pengarang tersebut juga tampak dalam beberapa karyanya yang lain. Namun,
peristiwa belasting yang anakronis dengan fakta sejarah dipandang Mahayana
sebagai siasat pengarang berkaitan dengan masalah nasionalisme yang hendak
diangkatnya. Masalah nasionalisme dalam novel ini diangkat oleh Marah Rusli
melalui tokoh-tokoh simbolik: Samsulbahri dan Datuk Meringgih. Kematian tokoh
Samsulbahri dan Datuk Meringgih dinilai sebagai kompromi pengarang untuk tidak
memenangkan salah satu pihak agar karyanya dapat diterima baik oleh Balai
Pustaka yang merupakan perpanjangan tangan Belanda, maupun oleh pembaca yang
sebangsa dengannya.
Faruk, guru besar di Universitas Gajah Mada, menulis “Hikayat Kadiroen dan
Sitti Nurbaya” dalam bukunya Belenggu
Pasca-Kolonial: hegemoni dan resistensi dalam sastra Indonesia (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007:255—360). Dalam tulisannya tersebut, Faruk melakukan
studi komparatif novel Hikayat Kadiroen
karya Semaoen dan Sitti Nurbaya karya
Marah Rusli untuk melihat pengaruh novel Max
Havelaar karya Multatuli yang terbit tahun 1860 terhadap kedua novel
tersebut. Faruk menganalisis struktur naratif, struktur ruang dan waktu, ras
dan tubuh, serta relasi gender kedua novel tersebut. Dalam bagian penutup
analisis novel SN, Faruk menyimpulkan
bahwa novel karya Marah Rusli tersebut menyuarakan suara pegawai pribumi dalam
sistem birokrasi kolonial Belanda dalam berhadapan baik dengan pemerintah
maupun dengan rakyat setempat. Suara itu seakan jawaban terhadap Max Havelaar yang baik secara tersurat
maupun tersirat dinyatakan dalam struktur naratif, struktur ruang dan waktu,
citra tubuh dan ras yang terbangun di dalamnya, dan relasi-relasi gender yang
dianutnya.
Faruk juga menyusun tesis berjudul Sitti
Nurbaya: Tinjauan Semiotik dan Strukturalisme Genetik (Universitas Gajah
Mada, 1988). Tesisnya tersebut diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Hilangnya Pesona Dunia: Sitti Nurbaya,
budaya minang, struktur sosial kolonial (Yogyakarta: Yayasan Untuk
Indonesia, 1999). Penelitiannya tersebut ingin menemukan faktor-faktor penyebab
kebesaran dan popularitas SN. Dalam
bagian penutup bukunya, Faruk menganggap ketepatan dalam mengekspresikan
pandangan dunia masyarakatnya merupakan salah satu faktor yang menentukan
kebesaran dan popularitas SN. Selain
itu, SN juga memperlihatkan
penguasaan pengarang atas sistem semiotik sastra baik yang bersifat umum,
khusus, maupun lokal. Faktor kultural dan penguasaan atas sistem semiotik
itulah yang menjadi kunci keberhasilan SN.
Faruk juga melihat kemenduaan sikap birokrat-aristokratik dalam SN. Novel tersebut diterbitkan oleh
penerbit pemerintah, tetapi di dalamnya terkandung persoalan yang bertentangan
dengan kebijakan pemerintah. Faruk menganggap komposisi cerita yang terbagi
dalam dua bagian sebagai konsekuensi dari kemenduaan sikap pengarang. Ia
menganggap hal itu sebagai determinasi hubungan antara pengarang dan penerbit
yang termasuk dalam faktor sosio-kultural pula.
Penulis melihat determinasi hubungan pengarang dan penerbit itu sebagai
persoalan ideologis, yakni relasi antara suprastruktur dan substruktur. Dari
tinjauan tersebut, penulis belum menemukan pembahasan ideologi dalam SN dengan pendekatan semiologi Roland
Barthes dan analisis struktur naratif A.J. Greimas. Oleh karena itu, penulis
merasa perlu membahas ideologi dalam novel SN
menggunakan kedua pendekatan tersebut.
BACA TULISAN SELANJUTNYA >>>
0 ulasan:
Catat Ulasan
Tinggalkan jejak sobat di sini