Hari-Hari Lajang


Awal November 2002


“Apakah Kakak pernah merasakan jatuh cinta?” tanya Sheila, gadis mungil tetanggaku, yang sudah seperti adikku sendiri.

Aku bukan tak mengenal kata itu: jatuh cinta. Aku pernah juga merasakannya, walau tidak pernah mengekspresikannya. Aku takut dosa. Aku hanya manusia biasa yang tidak akan pernah tahu kapan syetan akan menyusup ke dalam hatiku. Lebih baik aku menghindari itu. Tapi pernah juga aku nyaris mengungkapkan perasaanku kepada seorang gadis berwajah Cinderella yang jadi rebutan teman-teman satu sekolahan. Waktu itu usiaku 17 tahun. Tapi niat itu pun kandas, waktu kutahu seorang pangeran telah menemukan sebelah sepatu kacanya yang terjatuh, ketika waktu nyaris merubah kereta kencananya menjadi labu.

Bukan karena patah hati kalau sejak saat itu aku tak pernah lagi memikirkan kata itu: jatuh cinta. Aku terlalu sibuk mengejar cita-cita. Apalagi sejak aku bekerja dan kuliah, rasanya tak cukup waktu untuk menyelesaikan urusan-urusanku. Lagipula, aku nggak mau salah mendifinisikan kata cinta. Aku takut salah mengartikannya.

“Kakak mau nggak jadi pacarku?” tanyanya dengan muka lucu. Sheila memang gadis yang suka ceplas-ceplos bicaranya.

“Aku? Jadi pacar kamu?”

“Iya.”

“Nanti disangka Om kamu lagi.” Usia kami memang terpaut sangat jauh.

“Hi hi hi… nyadar juga ya, kalau sudah tua?”

Aku hanya meringis.

Sebuah motor berhenti di depan rumah Sheila.

“Aku pergi dulu ya, Kak! Udah disamper, tuh.”

“Lho… kemarin yang jemput nggak naik motor seperti itu? Udah ganti lagi?”

“Iya, dong! Biar ada penyegaran, gitu lho,” katanya sambil tertawa.

Aku hanya geleng-geleng kepala. Percuma aku menasehatinya. Hanya masuk telinga kanan, untuk kemudian keluar lagi melalui telinga kirinya. Nggak pernah sampai ke otaknya! Aku hanya bisa berdoa semoga Tuhan segera melimpahkan hidayah-Nya.


6 Desember 2002


Lebarannnnn!!!!!

“Kapan nih menikah? Ingat lho… usiamu sudah mau kepala tiga!”

Dari satu pintu ke pintu rumah famili yang kukunjungi, hampir semuanya melontarkan pertanyaan itu kepadaku. Aku sih bisa mengerti mengapa mereka menanyakan itu kepadaku. Tapi bosan juga aku menjawab pertanyaan yang sama dari tahun ke tahun!

“Doakan saja ya?” jawabku, sama dengan tahun-tahun lalu.


27 Desember 2002


Usiaku kini genap 30 tahun. Usia yang cukup matang untuk mengakhiri masa lajang.

Waktu sarapan pagi tadi, selepas mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku, Bunda mengatakan sesuatu, “Usiamu sudah 30 tahun. Sebentar lagi kuliahmu selesai. Pekerjaan juga sudah mapan…”

“Lantas kenapa, Bunda?” potongku.

“Masih betah melajang? Kapan kamu akan mengenalkan calon bidadari yang insya Allah akan menemanimu di surga, pada Bunda?” Bunda memang pandai bermain kata-kata. Mungkin akibat sering membaca novel-novel karyaku.

“Ah, Bunda…,” wajahku memerah serupa kepiting rebus. “Masuk surga aja belum tentu,” kilahku.

Dari balik jendela, aku lihat Sheila celingukan di luar pagar rumahku.

Mau apa ya gadis itu?

Waktu aku mau berangkat ke kantor, aku menemukan bungkusan kado di kotak surat yang bertengger di pagar rumahku. Dari siapa ya? Tak ada nama dan alamat pengirimnya. Tapi jelas ditujukan untukku.

Aku membuka bungkusan bermotif hati berwarna merah muda itu. Sekotak cokelat! Pasti yang memberikannya orang yang cukup dekat denganku. Buktinya dia tahu kegemaranku… Eh, ada puisinya!

Satu tahun bertambah usiamu
Satu tahun berkurang waktumu
Berapa yang tersisa?
Jangan sampai sia-sia
Met Ultah
Love U

“Kado ultah?” tanya Gegge. Waktu kutunjukkan kado yang kutemukan di kotak surat di pagar rumahku.

“Ala… nggak usah pura-pura deh. Kalian berdua kan yang ngirim kado ini?” tudingku. “Mentang-mentang udah pada menikah… mau nyindir aku ya?”

“Idih. Kayak kurang kerjaan aja.”

“Wah… ada cewek yang diam-diam naksir elo, tuh” timpal Ave.

“Apa isinya?”

“Cokelat.”

“Serbuuuu!!!”

Tanpa menunggu komando dariku, kedua sahabat yang juga teman kerjaku itu langsung membantai sekotak cokelat yang kubawa. Hanya dalam waktu sekejam cokelat-cokelat itu habis mereka embat!

Tapi siapa ya yang memberikan kado itu? Jangan-jangan… Sheila? Tapi nggak biasanya dia pakai kirim-kirim kado ulang tahun segala. Mana bisa dia nulis puisi. Pake ngucapin Love U segala…

Ringtone HP-ku berbunyi. Ada telepon masuk. Nama Sheila terpampang di layar LCD ponselku. Aku terima.

“Selamat ulang tahun kakakku yang ganteng!”

Tuh ‘kan… Baru juga diomongin.

Pagi ini kantor terasa sedikit lengang. Hanya aku, Ave dan Gegge yang ada di ruang redaksi. Teman-teman kerjaku banyak yang masih cuti. Sepertinya Tahun Baru nanti aku masih harus bekerja. Lebaran kemarin aku ambil cuti panjang. Ada ujian akhir. Biar bisa belajar. Aku nggak mau lulus dengan nilai seadanya. Makanya, sekarang giliran aku jaga kantor.


31 Desember 2003


Libuuuuurrrrrrr!!!!!! Sebenarnya liburnya hanya tanggal 1 Januari saja. Tapi malam ini, selepas pulang dari kantor, aku nekad pergi ke Cipanas. Rasanya seperti ada yang kurang kalau tidak menjalankan ritual tahun baruku: Naik gunung. Sejak masih sekolah dahulu, aku selalu menghabiskan detik-detik waktu sebelum pergantian tahun di puncak gunung. Menyendiri. Mencoba mendekatkan diri pada ilahi Rabbi. Menapaki kembali jejak-jejak yang sudah kulalui. Menyusun rencana-rencana tahun depan yang lebih baik lagi. Kali ini kupilih Gunung Gede, karena tak banyak waktu yang kupunya.


3 Januari 2003


Pagi-pagi sudah ditegur sama Mas Maman, Pemred-ku. Gara-gara aku meliburkan diri kemarin. Habis, sekembali dari naik gunung, badanku masih terasa pegal-pegal sih…percuma kalau kupaksakan masuk. Aku tetap tidak akan konsentrasi menyelesaikan pekerjaanku.

Akibatnya, hari ini, tugas-tugas menumpuk di meja kerjaku. Deadline sudah menantiku.

Aduuuuhhhh puuusssiiiinnggggg…!!!


14 Februari 2003


Kantor gempar. “Ada cewek cantik yang nungguin di lobby!” begitu Muktiar, resepsionis kantorku memberikan informasi. Teman-teman langsung menggoda aku. Maklum, baru kali itu ada cewek cantik yang mencari aku. Julukan bujang lapuk sudah terlanjur melekat padaku. Di kantorku, hanya aku saja yang nggak punya pasangan. Habis masih betah ngejomblo sih… he he he… betah apa betah?

Ternyata Sheila! Mau apa anak itu ke kantorku?

“Mau kasih ini,” dia menyerahkan dua batang cokelat mede kepadaku.

“Jauh-jauh ke sini cuma mau ngasih coklat?”

“Nggak.”

“Terus mau apa?”

“Nanti malam bisa temani She ke acara Valentine’ Day, nggak?”

“Kenapa nggak sama pacar kamu? Lagian, buat apa sih datang ke acara begituan. Sok barat. Kamu udah pernah aku ceritain sejarah kelam di balik perayaan hari Kasih Sayang itu kan?”

“Udah. Tapi please dong… kali ini aja?”

“Terus, aku disuruh jadi body guard, gitu?”

“Please? Tar cokelatnya aku tambahin lagi deh!” gadis yang sudah kuanggap adikku sendiri itu memasang wajah memelas. Keluargaku dengan keluarga Sheila memang sangat dekat. Saking dekatnya, Tante Ningrum, ibunda Sheila, sering menitipkan anak itu di rumahku kalau dia pergi kerja, sejak usianya masih hitungan bulan. Dan aku yang selalu diminta Bunda untuk menjaganya. Saat itu usiaku duabelas tahun. Kedua orangtua Sheila memang bekerja.

Aku nggak sampai hati menolak permintaan gadis itu. Terpaksa aku mengangguk.

“Yes!” Sheila melompat kegirangan. Buuuukkk! Tanpa sengaja dia menyenggol seseorang yang sedang berjalan.

“Liat -liat, dong!” Sus Sussy—begitu dia lebih suka dipanggil, walau sebenarnya dia itu seorang lelaki—memasang muka cuka. Dia redaktur mode di majalah tempat aku bekerja.

“Sori?”

“Huh!” wanita jadi-jadian itu membuang muka.

Sheila tertawa-tawa.

Keesokkan malamnya, aku menemani gadis mungil itu ke acara Valentine’s Day yang diadakan di rumah temannya yang kaya raya. Acara diadakan di kebun belakang dekat kolam renang. Malam itu, nggak seperti biasanya, Sheila bersikap sangat manja sekali denganku. Ada apa ya? Jangan-jangan benar dia yang…

Buuuukkkk! Sebuah tinju mendarat mulus di wajahku.

“Ayo bangun!” tantang seorang pemuda seusia Sheila.

“Heh, mau apalagi lo, Ndra! Kita kan udah putus!” sambar Sheila.

Aku baru tahu kalau pemuda itu mantan pacarnya Sheila. Namanya Indra. Rupanya dia cemburu karena Sheila datang bersamaku ke acara itu.

“Elo salah paham. Gue bukan apa-apanya Sheila, kok.”

“Bohong! Sheila yang bilang ke gue kalo elo pacar barunya!”

Aku melirik ke arah Sheila. Gadis itu cuma senyum-senyum. Oo… jadi karena itu dia mengajak aku. Cuma untuk manas-manasin mantan pacarnya doang!

Setelah aku beri pengertian, akhirnya kemarahan pemuda itu mereda. Meski tak sepenuhnya reda.

“Maaf ya, Kak?” lagi-lagi gadis itu mengeluarkan jurus ampuhnya: pasang muka memelas!

Sheila… Sheila… rasanya dua batang cokelat yang dia berikan, tidak sebanding dengan memar yang harus kuterima.


Akhir Februari 2003


Aku baru saja hendak masuk ke halaman rumahku, ketika sebuah sedan mewah berhenti di depan rumah Sheila yang bersebelahan dengan rumahku. Kepala Sheila nongol dari jendela yang terbuka. Aku melirik arloji di tanganku. Hampir lewat tengah malam!

“Selamat malam, Kak! Baru pulang kerja ya?”

Sheila turun dari dalam mobil bersama seorang pemuda. Melihat pemuda itu, aku jadi teringat dengan seseorang. Dia serupa dengan pangeran yang menemukan sepatu kaca gadis berwajah Cinderella. Kalau dilihat penampilannya, nggak salah kalau aku menduga pemuda itu anak orang berada, yang orangtuanya lebih suka mengganti kasih sayang dengan materi berlimpah. Karena mereka nggak punya waktu untuk itu.

“Iya. Kalau kalian? Baru pulang sekolah ya?” sindirku.

“Ah, kakak bisa aja,” sahut Sheila.

“Yuk, aku masuk dulu ya!” Aku menggandeng motorku masuk ke dalam rumah.


Awal Maret 2003


Ponselku bergetar. Ada SMS yang masuk.

Mengapa aku Wanita
duhai Lelaki?
Sebab dengan begitu, aku
bisa bermain hati denganmu:
Sedih, bahagia, risau, cemburu.
Indahnya jatuh cinta. Jatuh yang tidak sakit!

Ah, siapa sih yang iseng mengirimkan puisi ini padaku?

“Kalian tahu?” tanyaku kepada Ave dan Gegge.

“Pasti cewek, tuh!” komentar Ave sekenanya.

“Anak TK juga tau kalo yang nulis puisi itu cewek!”

Ave cengar-cengir.

“Bukannya itu nomer pribadi lo?” selidik Gegge.

“Iya.”

“Siapa aja yang tahu?”

“Keluarga. Teman-teman di rumah. Dan… kalian!” aku seperti menyadari sesuatu. “Jangan-jangan kalian yang…”

Kedua sobatku itu langsung membantah keras sebelum aku menyelesaikan kalimatku. Biasanya dua orang yang berbeda budaya itu—Ave asal pekalongan, sedang Gegge asli Makassar—punya satu kesamaan: Suka ngerjain orang!

Tapi kali ini aku harus percaya kalau bukan mereka yang mengirimkan SMS itu. Sejak tadi mereka ada bersamaku di ruang redaksi.

“Jangan-jangan orang yang sama yang ngirimin elo cokelat waktu itu?”

“Bisa jadi.”


Pertengahan Maret 2003


Aku melihat mobil sedan yang belakangan sering terparkir di depan pagar rumah Sheila meluncur deras ke arah Puncak. Aku baru selesai meliput acara yang diadakan satasiun radio paling terkenal di kawasan Bogor. Aku ikuti mobil itu. Aku tidak tahu untuk apa aku mengikutinya. Entahlah. Mungkin firasat. Tiba-tiba saja aku teringat dengan Sheila.

Di daerah Cilember, sedan itu membelok ke kanan, keluar dari jalan utama. Aku terus menguntit dari jarak yang cukup aman sampai sedan itu berhenti di halaman sebuah vila. Tiga pemuda dan dua orang gadis turun dari sedan itu. Benar saja… Sheila adalah salah satu dari gadis yang ada bersama mereka!

Mereka masuk ke dalam vila itu. Tak berapa lama kudengar suara musik yang diputar kencang-kencang. Lalu suara tawa. Letak vila itu memang sangat terpencil. Jauh dari rumah-rumah penduduk.

Satu jam sudah, aku masih berada di luar pagar vila. Tak tahu harus berlaku apa. Sampai kecemasan yang makin, menyela bimbang yang meradang. Aku melompati ragar vila, dan langsung menyerbu ke arah jendela salah sebuah kamar di vila itu.. Astaghfirullah! Kulihat pemuda yang mobilnya sering terparkir di luar pagar rumah Sheila, meloroti pakaian yang di kenakan Sheila yang tak sadarkan diri di atas ranjang! Pasti pemuda itu memasukkan sesuatu ke dalam minumannya! Tak kubuang waktu, Kuhubungi polisi dengan telepon genggamku, sebelum aku menyerbu masuk ke dalam kamar dan menghadiahi tendangan tepat di ulu hatinya. Pemuda yang sedang berada dalam pengaruh alkohol menjerit memeggangi perutnya, lalu ambruk ke lantai.

Mendengar kegaduhan, kedua temannya yang sedang asyik ‘mengerjai’ gadis yang satunya datang dengan tampang garang. Terjadi perkelahian dua lawan satu. Untungnya, saat aku mulai terdesak karena mereka menggunakan senjata tajam, suara sirene mobil polisi membuat mereka kocar-kacir sebelum akhirnya berhasil diringkus.

Alhamdulillah… belum sampai terjadi apa-apa dengan Sheila. Tapi gadis yang satunya… Ah, aku tak sampai hati menceritakannya…


Pertengahan April 2003


Semakin sering aku menerima puisi cinta dari nomer yang tak kukenal. Bukan hanya lewat SMS, belakangan, hampir setiap pagi aku menemukan sebait puisi terkapar di meja kerjaku! Padahal aku tak pernah meladeninya. Bingung juga sih… apa selama ini sikapku sudah membuat orang jadi salah mengerti? Aku memang orang yang mudah membagi senyum kepada setiap yang berpapasan denganku. Apakah itu salah? Bukankah senyum itu ibadah?

Tadi pagi saja aku menemukan sebait puisi di meja kerjaku. Begini katanya dalam puisi itu:

Senyummu adalah surga
Ijinkan aku tinggal di dalamnya
Akan kubuat kau selalu tersenyum

“Sudah coba menghubungi nomer itu?” tanya Gegge.

Astaghfirullah… kenapa nggak terpikirkan olehku ya?

Akhirnya, kuhubungi juga nomer itu, bersamaan dengan Sus Sussy, redaktur mode melintas di depan meja kerjaku.

Tersambung!

Tapi…

Kulihat Sus Sussy mengambil HP dari saku jaketnya. Sedetik kemudian, dia langsung membuang pandang ke arahku.

“Akhirnya… kamu mau juga menghubungiku,” ucapnya manja, sambil mengedipkan sebelah matanya kepadaku.

Tawa pecah di ruang redaksi. Aku hanya bisa menunduk. Malu.

Lelucon apa ini? Ternyata Sus Sussy-lah orang yang selama ini menghujaniku dengan puisi-puisi cinta. Dasar Banci! Pake ngaku-ngaku wanita segala, lagi…


23 Mei 2003


Hari ini ulang tahun Sheila. Alhamdulillah, sejak kejadian di vila beberapa waktu lalu, gadis itu jadi lebih sering berada di rumah. Bahkan, belakangan dia sering datang ke acara-acara yang diadakan teman-teman remaja mesjid di lingkunganku!

Aku menghadiahinya selembar jilbab warna biru, warna kesukaan gadis itu.


Pertengahan Juli 2003


Sidang skripsiku berjalan sukses! Semua yang ditanyakan dosen-dosen penguji, mampu kujawab dengan baik. Mereka bilang, skripsi yang kuajukan, tidak memberikan celah untuk mereka mengajukan pertanyaan!


Awal Agustus 2003


Akhirnya aku diwisuda juga! Walau terseok-seok akhirnya aku berhasil menyelesaikan kuliahku di Fakultas Sastra. Bukan karena aku malas kalau di usiaku yang ketigapuluh tahun aku baru menyelesaikan kuliah S1-ku. Selepas SMA aku memang tidak langsung kuliah. Tak ada biaya. Bunda hanya seorang tukang jahit pakaian wanita. Ayah meninggal dunia—begitu yang dikatakan polisi, yang terpaksa harus kami yakini, walau hingga kini kami tidak pernah melihat jasad Ayah—saat sedang menjalankan tugas jurnalistik di Aceh, ketika jaman-jamannya DOM dahulu. Ayahku seorang wartawan di salah satu surat kabar ternama ibukota! Dan bakat menulis itu yang kemudian menurun padaku. Baru ketika cerpen dan cerber karyaku semakin sering muncul di berbagai majalah dan harian ibukota, aku mendapat tawaran dari teman sejawat ayah yang menjadi Pemred di sebuah majalah remaja ternama. Alhamdulillah, aku bisa mengumpulkan uang untuk biaya kuliah. Dan karena kesibukan bekerjaku, kuliahku agak sedikit tertinggal.


Akhir Oktober 2003


Untuk menyenangkan hati Bunda, kupenuhi juga desakkan Bunda untuk bertemu dengan Indah, anak kerabatnya yang baru saja menamatkan study-nya di Amerika. Kalau melihat penampilan di fotonya dengan baju muslimah, rasanya Bunda nggak salah memilihkan wanita untukku. Semoga saja ya… bosen juga nih, melajang!

“Hello, Tante! How are you?” sapa Indah waktu membukakan pintu rumahnya untuk kami.

“Kamu pasti Bagaskara?” melihat ke arahku, “Nice to meet you!”

“Assalamu alaikum!” ucapku yang dijawabnya agak terbata. Rupanya, terlalu lama di Amerika, bisa membuat lidah kelu mengucapkan salam! Ha ha ha…

“Come!” katanya mempersilahkan kami masuk.

“Ayo, Bunda!” ajakku kepada Bunda yang masih saja terpana dengan penampilan wanita pilihannya, malam itu, yang seolah menjungkirbalikkan kenyataan yang pernah kami lihat di fotonya. Malam itu Indah mengenakan gaun malam backless warna merah dengan belahan hingga ke pahanya! Tidak hanya itu saja yang membuat Bunda menjadi shock. Indah yang di fotonya tampil anggun dengan jilbab yang dikenakannya, kini mencat pirang rambutnya yang diikalkan!

Indah, Indah… begitu mudahnya Amerika memgubahmu…


Awal November 2003


Aku bersyukur karena selama bulan puasa ini, Sheila sedang semangat-semangatnya belajar mengaji. Dia ikutan pesantren kilat di sekolahnya. Dia berguru pada seorang ustadzah yang juga merupakan guru baru yang mengajar mata pelajaran Agama Islam di sekolahnya. Selalu saja ada pujian yang dia bawa setiap kali dia baru pulang dari sekolahnya. Setiap hari yang dibicarakan Sheila hanya guru ngajinya saja. Yang cantik-lah, yang baik hati-lah, yang sabar-lah, yang pandai-lah, seolah tak sedikit pun cela yang dipunya guru ngajinya itu.

Ujung-ujungnya, apalagi kalau bukan ingin menjodohkan aku dengan gurunya itu?

Jadi penasaran juga sih…

Tapi, wanita yang menurut Sheila seusiaku itu sudah memiliki anak satu. Soal itu, tak apa buatku. Yang terpenting buatku, amal ibadahnya. Bukankah untuk alasan itu Allah menciptakan manusia?


26 November 2003, Hari Kedua Idul Fitri


Sheila mengajak aku bersilaturahmi ke rumah guru ngajinya. Niatnya sih, mau memperkenalkan aku dengan guru ngajinya itu. Ya… sekalian halal bi halal. Tahu nggak siapa yang kutemui di sana?

Gadis berwajah Cinderella yang kini telah menjadi ibu dari seorang putri yang juga serupa dengan dirinya!

Subhanallah!

Tapi, ke mana pangeran yang dulu menemukan sepatu kacanya, ketika waktu nyaris merubah kereta kencananya menjadi labu?

Dengan bibir bergetar, dia menceritakan padaku kegetiran yang harus dihadapi sejak dia memutuskan hidup dengan pangeran yang ternyata gemar main tangan dan selalu pulang ke rumah dengan mulut yang menyembur aroma nereka, setiap kali dia kalah besar di meja judi! Dan lima tahun kemudian, saat usia putri mereka mengijak tahun ketiga, dia meminta pangeran itu untuk menceraikannya.


27 Desember 2003


Tepat 31 tahun usiaku kini. Alhamdulillah. Aku sudah menemukan calon bidadari yang insya Allah akan menemaniku di surga. Gadis berwajah Cinderella yang kini telah memiliki seorang putri sudah menerima lamaranku!

Doakan ya? Semoga tahun haji nanti tak ada halangan lagi bagi kami untuk melangsungkan akad nikah…***

Cerpen dEpo
Dimuat di Majalah Annida
Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini