Kabut Mandalawangi #1

Novel Denny Prabowo
Diterbitkan oleh Lingkar Pena Publishing House, 2005



“Mas, libur tahun baru nanti aku diajak anak-anak pencinta alam di sekolahku mendaki ke Gunung Gede-Pangrango.”

Diam. Tak ada jawaban dari kakaknya.

“Mas…,” rajuk siswi kelas dua SMU itu, “boleh ‘kan aku pergi?”

Fajar masih diam. Matanya lurus ke layar komputer. Tangannya lincah menari di atas keyboard. Konsentrasinya penuh pada naskah cerita serial yang sedang digarapnya. Besok lusa naskah yang dimuat di majalah remaja tempatnya bekerja itu sudah harus naik cetak. Fajar mengasuh rubrik fiksi di kantor redaksi majalah tempatnya bekerja.

Di luar rumah, rinai hujan tiba-tiba menderas. Angin yang bertiup kencang menerbangkan butir-butir air hujan melalui jendela kamarnya yang terbuka. Kilat berkeretap membentuk rengkahan cahaya di angkasa, yang segera disusul gelegar guntur. Fajar segera mematikan komputernya. Beranjak tergesa menghampiri jendela. Dia menutup daun jendela rapat.

Edelweiss duduk di atas ranjang tidur kakaknya.

“Mas nggak suka ya, aku naik gunung?”

Fajar masih berdiri di depan jendela kamarnya. Memandangi air hujan yang bagai ditumpahkan dari langit. Ranting-ranting pohon terombang-ambing tak tentu arah dipermainkan angin yang tiba-tiba seperti datang dari segala arah.

“Mas…”

Fajar menarik nafas berat. Seberat keputusan yang harus dibuatnya. Dia menghembuskan nafas dalam sekali tekanan. Seolah dengan melakukan itu, terbebaslah dia dari resah yang menyesah.

Dia membalikkan tubuh menghadap Edelweiss. Memandangi wajah adiknya lekat. Wajah serupa itu mengingatkannya pada detik-detik waktu yang telah tertinggal jauh di belakang. Situasi seperti yang ada di hadapannya saat ini, pernah pula terjadi di masa lalunya. Hanya saja saat itu dia berada di posisi Edel saat ini. Dan kini situasinya jadi berbalik. Dia harus memerankan peranan yang dulu dimainkan Bunda. Hidup memang sebuah panggung sandiwara*. Dan terkadang sebuah sandiwara dipentaskan beberapa kali di atas panggung yang sama. Seperti Rano Karno yang dulu memerankan tokoh Galih dalan sebuah film layar lebar, Gita Cinta Dari SMA. Yang kini harus bermain dalam sebuah sinetron dengan judul yang sama justru sebagai orangtua dari tokoh yang dulu diperankannya, Galih. Seperti itulah kira-kira gambaran situasi yang sedang dihadapi Fajar saat ini.

Sehingga dia sangat mengerti betapa si tomboy, adiknya mengharapkan dia menganggukkan kepala dan mengucap kata ‘ya’. Karena sesungguhnya, Edel merupakan penjelmaan dirinya di masa lalu. Tapi seperti dirinya juga yang merupakan penjelmaan dari Bunda, berat rasanya bagi dia untuk menganggukkan kepala dan berkata ‘ya’ kepada adiknya. Dan dia sungguh berharap Edel bukan seratus persen penjelmaan dirinya di masa lalu, yang tak mau mengindahkan larangan bundanya. Waktu itu Fajar pergi diam-diam dengan teman-temannya. Bunda yang masih trauma karena kehilangan suaminya dan tak ingin mengalami untuk yang kedua kalinya, marah besar kepadanya. Namun dia tak bisa menghapus darah petualang yang kental mengalir di tubuh anaknya.

Dan trauma pula yang akhirnya harus diterima oleh Fajar sejak lima tahun lalu. Walau skenarionya tak persis sama, namun akibat yang ditinggalkannya, hampir tak jauh beda. Trauma itu yang membuatnya meletakkan jabatannya sebagai ketua Mapala di universitasnya yang sekaligus merupakan pengunduran dirinya dari segala bentuk kegiatan mountaineering.

“Mas!”

“Hah?” teguran Edel mengembalikannya dari penggalan-penggalan cerita lalunya, yang tiba-tiba saja menjelma sebuah layar raksasa yang menampilkan gambaran samar-samar di kepalanya.

“Boleh nggak aku naik gunung?!” Edel mulai tidak sabar dengan sikap diam kakaknya. “Aku mau merayakan hari ulang tahunku di puncak gunung.”

“Tapi kamu belum pernah naik gunung sebelumnya…”

“Aku ‘kan perginya sama teman-teman pencinta alam sekolahku… mereka sudah sering naik gunung sebelumnya. Lagipula, ada kakak-kakak dari klub pencinta alam yang akan membimbing kami di sana.”

“Klub pencita alam mana?”

“Kembara. Markas mereka ada di dekat sekolahku. Mereka yang melatih anak-anak pencinta alam di sekolahku. Mereka sudah sangat berpengalaman, Mas!”

“Ayah juga sangat berpengalaman. Begitupun aku. Tapi…,” menghela nafas

“Mas Fajar nggak boleh berkata seperti itu. Bukankah setiap manusia membawa takdirnya sendiri-sendiri?”

“Aku tetap tidak bisa mengijinkan kamu,” tegasnya.

“Mas nggak adil!” merengus. “Ayah, Mas Fajar, bahkan Bunda sekalipun pernah merasakan naik gunung… Kenapa aku tidak diberi kesempatan untuk merasakan apa yang dulu pernah kalian rasakan?!”

“Justru karena aku tidak mau kamu merasakan apa yang pernah kami rasakan, makanya aku melarang kamu pergi. Kau tahu bagaimana perasaan Bunda waktu kehilangan Ayah?” Menatap wajah Edel. “Dan aku…” Bibirnya bergetar waktu mengucapkan itu. Fajar tak melanjutkan kalimatnya. Dia membuang muka ke tempat lain. Ada sesak di dada saat gambaran samar-samar di kepalanya menjadi semakin nyata. Gambaran seorang wanita!

“Apa? apa yang terjadi dengan Mas Fajar?” desak Edel.

“Ah, sudahlah… pokoknya aku nggak mengijinkan kamu pergi! Tinggal kamu milikku satu-satunya. Dan aku nggak mau kehilangan kamu seperti Bunda dan aku kehilangan Ayah. Aku harap kamu dapat memahami.” Fajar beranjak meninggalkan kamarnya. Edel hanya bisa memandangi punggung kakaknya. Sekilas tadi, Edel masih sempat melihat air menggenang di kelopak mata kakaknya.

^^^

“Kak Fajar… Arin hilang!” Riyanni dan Irma tergopoh-gopoh menghampiri tenda Fajar yang berada tak jauh di belakang tenda mereka yang berdiri di puncak Gunung Pangrango.

“Apa? Hilang?!”

“Dia bilang mau cari air. Tapi sudah sejak dua jam lalu belum juga kembali!”

“Sudah dicari di alun-alun Mandalawangi?”

“Yang banyak edelweissnya itu ‘kan?”

“Iya. Cuma di tempat itu yang ada mata airnya.”

“Sudah. Kita semua sudah mencarinya di sana. Tapi nggak ketemu!”

“Janu dan Agun juga masih coba mencarinya di tempat itu.”

Lalu ketiganya menuju lembah Mandalawangi menyusul Janu dan Agun. Riyanni, Irma, Arin, Janu dan Agun memang berada di dalam satu regu yang diawasi langsung oleh Fajar. Mereka calon anggota Mapala yang sedang menjalani pelatihan dari senior-seniornya. Itu merupakan pendakian pertama mereka.

Lembah yang diapit dua puncak gunung, Pangrango dan Mandalawangi itu tampak sepi. Tak ada tenda yang berdiri di sana. Tak banyak pendaki yang memilih puncak Pangrango atau Mandalawangi sebagai tujuan pendakian mereka. Selain karena jalur yang terlalu sulit, kebanyakan pendaki lebih suka mendaki ke puncak Gede karena keindahan kubah kawahnya dan jalur pendakian yang mudah dilalui. Sehingga tak banyak orang yang mengetahui keberadaan lembah itu. Padahal dibandingkan dengan Surya Kencana, Lembah Mandalawangi jauh lebih indah. Pohon-pohon edelweiss yang tumbuh di tempat itu bisa mencapai tinggi hingga dua meter lebih! Mungkin karena tak banyak yang menyinggahi tempat itu, membuat edelweiss-edelweiss di tempat itu lebih terlindungi dari tangan-tangan jahil para pendaki yang hanya menjadikan kegiatan pendakian sebagai hura-hura belaka.

Kabut tipis merayap perlahan menyelimuti Lembah Mandalawangi. Sang bagaskara terjerembab di jurang cakrawala. Sesaat lagi kelambu hitam malam siap dibentangkan. Mereka berkumpul di dekat sebuah nisan prasasti yang diletakkan di tengah lembah untuk mengenang pendaki-pendaki yang meninggal dalam pendakian ke tempat itu sejak tigapuluh tahun yang lalu. Hampir setiap sudut lembah telah mereka datangi, Arin belum juga diketemukan. Gadis itu bagai lesap ditelan kabut yang arak berarak.

“Sebaiknya kalian berdua kembali ke tenda kalian,” kata Fajar kepada Riyanni dan Irma. “Sebentar lagi hari menggelap. Biar kami bertiga yang melanjutkan pencarian.”

Riyanni dan Irma kembali ke tendanya di puncak Pangrango.

Janu dan Agun melanjutkan pencarian. Fajar menghubungi teman-temannya yang berada di pos Kandang Badak. Kemudian melaporkan hilangnya Arin kepada Jagawana setempat yang bermarkas di Visitor Centre, Cibodas, dengan handy talky.

Satu jam kemudian, teman-temannya yang berada di pos Kandang Badak datang ke lokasi. Mereka segera bergabung melakukan pencarian. Hari semakin gelap. Awan hitam. Mendung menggelantung di atas kepala mereka.

Setelah berjam-jam menyisir lokasi itu, pencarian belum juga berbuah hasil. Sementara kabut kian tebal menghalangi pandangan mereka. Cahaya senter hanya menjangkau jarak tiga meter. Angin berhembus semakin kencang. Bahkan kedatangan tim SAR Jagawana, tak banyak membantu di tengah kondisi cuaca yang memburuk. Langit mulai menitikkan airmata. Terbatuk. Kilat menyambar-nyambar dinding udara. Merengkah. Disusul suara gemuruh. Tampaknya, tak lama lagi badai akan turun di tempat itu.

“Percuma!” kata salah seorang anggota tim SAR Jagawana, “Kita tidak akan menemukannya di tengah kondisi cuaca seburuk ini!”

Hujan bertambah lebat. Mereka berkumpul di tengah-tengah lembah. Wajah-wajah mereka tampak tegang.

“Sebaiknya pencarian ditunda sampai cuaca membaik.”

“Tidak!” kata Fajar, “pencarian tidak boleh dihentikan. Arin tak akan bertahan dalam cuaca seperti ini!”

“Tak ada yang bisa kita lakukan saat ini,” kata anggota tim SAR Jagawana yang lainnya. “Kita hanya bisa berdoa semoga tidak terjadi apa-apa.”

“Kalau kalian menghentikan pencarian, biar aku melakukannya sendiri!” Fajar berjalan menjauhi kerumunan.

“Jar!” Bayu mencekal pundak Fajar. Mencoba menghentikan sahabatnya itu. Tapi Fajar menepis tangannya. Sahabat dekat yang juga wakil Fajar di Mapal itu, segera mengejarnya. Dia menjajari langkah Fajar yang tergesa-gesa.

“Sebaiknya kau dengarkan saran mereka. Petir semakin rajin menyambar. Kau tak mau mati konyol ‘kan?”

“Petir-petir itu tak akan menghentikan aku!” kata Fajar sambil terus melangkah. Dia mengarahkan senternya ke segala arah.

“Aku tahu bagaimana perasaanmu saat ini.”

“Tidak. Kau tidak tahu apa-apa soal perasaanku.”

“Kau pikir aku tidak mencemaskannya?!”

Fajar menghentikan langkahnya.

“Kita semua mencemaskan Arin!” lanjut pemuda kurus itu, “tapi jangan karena perasaan itukita jadi tak menggunakan akal sehat kita untuk berpikir.”

Fajar perpaling menatap Bayu.

“Apa yang harus aku katakan kepada keluarganya kalau sampai…”

“Kita akan menghadapinya bersama.”

“Akh!” Fajar membanting senternya. Senter terhempas ke tanah lalu padam cahayanya. Dia menjatuhkan lututnya ke tanah. “Aku bahkan tak mampu membayangkan wajah-wajah mereka saat harus mendengar kabar tentang anaknya…”

“Sebaiknya kita segera mencari tempat yang aman untuk berteduh…” Bayu menepuk-nepuk pundak sahabatnya.

Fajar menengadahkan wajahnya ke langit. Matanya terpejam karena guyuran hujan. Wajah-wajah berselimut duka membayang di hadapannya. Wajah-wajah milik keluarga Arin. Mata-mata mereka seolah menuntut pertanggungjawaban darinya.

“Tidaaaaaakkkkk….!!!!!”

Fajar membuka mata. Bolamatanya membulat. Nafasnya tersengal. Dadanya berdebar-debar. Keringat menetes dari wajahnya. Dia menyapu keringat itu dengan kedua telapak tangannya.

Sang bagaskara telah menuntaskan pendakiannya ke tiang tertinggi hari. Duduk di sejumput awan. Sinar matanya teduh. Adzan zuhur mengudara. Bagai genta waktu. Membahana di angkasa. Fajar beranjak dari ranjang tidurnya. Beberapa saat kemudian pemuda mejelang tigapuluh itu tampak luruh dalam sujud di atas tikar sajadah.

Peristiwa 5 tahun tahun lalu itu terus saja membayangi dirinya. Menjelma mimpi-mimpi buruk yang selalu saja datang di tiap-tiap tidurnya.***




Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini