Kabut Mandalawangi #2

Novel Denny Prabowo
Diterbitkan oleh Lingkar Pena Publishing House, 2005



Siang di kantin sekolah saat jam istirahat.

Edelweiss duduk di kursi kayu panjang yang ada di depan kantin, menikmati sebotol minuman dingin dan sepiring somai bersama Adinda, teman sebangkunya sejak di kelas dua. Adinda anggota Pencinta Alam SMU Bintara, yang sering di singkat Palatara. Gadis berjilbab yang punya hobi naik gunung dan panjat tebing itu sudah bergabung dengan Palatara sejak dari kelas satu. Dari Adinda Edel sering mendengar cerita-cerita seru kegiatan Palatara. Sebenarnya sudah lama dia tertarik ingin ikutan kegiatan Palatara, tapi kakaknya tak mengijinkannya. Sejak dia tahu ayah dan bundanya seorang pendaki, dia tak mampu membendung hasratnya untuk bergabung. Dia langsung mengiyakan waktu gadis yang matanya bulat seperti bola ping-pong itu mengajaknya turut dalam pendakian ke Gunung Gede-Pangrango, saat libur panjang kenaikan kelas nanti. Namun tampaknya, Edel masih harus memendam keinginannya itu…

“Kamu jadi ikutan kita naik gunung?” Tanya gadis mungil di hadapannya, sebelum menyuap potongan kentang ke dalam mulutnya.

Edel menghela nafas panjang. Pandangannya dikubur dalam-dalam ke meja kayu di hadapannya.

“Kenapa?” tanya Adinda, “Kakakmu nggak mengijinkan?”

Gadis semampai itu mengangguk lemah.

“Kamu sudah bilang kalau ada kakak-kakak dari klub pencinta alam Kembara yang akan mendampingi kita selama pendakian?”

“Sudah. Tapi tetap saja dia nggak mengijinkan aku pergi…”

“Katamu, kakakmu suka naik gunung?”

“Dulu. Ketika dia masih kuliah.”

“Seharusnya dia bisa mengerti dengan keinginanmu.”

Edel mengangkat bahu.

“Sepertinya dia masih trauma dengan kejadian yang menimpa ayah kami tujuhbelas tahun yang lalu… Kau sudah aku ceritakan tentang kecelakaan yang dialami ayahku saat dia sedang mengevakuasi jasad tiga mahasiswa pendaki yang hilang di Gunung Slamet ‘kan?”

“Sudah.” Si mata bulat terdiam. Dia seperti sedang memikirkan sesuatu. “Tapi bukannya kecelakaan itu terjadi saat usia kakakmu baru 12 tahun? Kamu bilang tadi, waktu masih kuliah kakakmu suka naik gunung?”

“Iya. Waktu aku sekolah dasar dia sering bercerita kepadaku. Hampir seluruh puncak gunung di negeri ini pernah dia daki. Aku sering melihat foto-foto pendakiannya.”

“Aneh… kalau dia trauma kerena kecelakaan yang menimpa ayah kalian tujuhbelas tahun yang lalu, seharusnya, trauma itu sudah dialaminya sejak dia berusia 12 tahun…”

“Maksudmu?”

“Mungkin ada kejadian lain yang pernah dia alami, yang membuatnya trauma, jauh sesudah tragedi yang dialami oleh ayah kalian.”

Si tomboy berusaha mencerna perkataan Adinda. Dia merasa analisa Adinda ada benarnya. Sebenarnya Dia juga mencium gelagat itu.

“Kamu sudah pernah menanyakan kenapa kakakmu tidak pernah naik gunung lagi?”

“Sering.”

“Apa jawabnya?”

“Dia selalu menghindar setiap kali kutanyakan.”

“Kalau begitu dugaanku pasti benar! Pasti ada sebab lain yang membuat kakakmu trauma.”

Edel mengangguk-angguk.

“Sebenarnya aku juga sempat berpikir begitu. Aku lupa kapan persisnya… kalau tak salah, beberapa tahun sejak Bunda wafat, dia tak pernah lagi naik gunung. Dan kau tahu.… dia bahkan menyembunyikan foto-foto mendakinya di dalam koper yang dia simpan di gudang!”

Adinda menjentikkan jarinya. “Pasti ada sebab lain!” matanya yang bulat semakin membulat lebar.

^^^

TPU Lembah Abadi. Komplek pemakaman itu sangat sepi. Tak seorang pun yang datang berziarah. Fajar menaburkan kembang tujuh rupa di atas sebuah makam. Dia duduk bersimpuh di depan gundukan tanah berumput itu. Kabut berpendar di bolamatanya. Mengabur pandang. Meretas. Menjelama kristal-kristal bening yang menganaksungai di kedua belah pipinya. Ia menyapunya dengan ujung jari telunjuk. Terdiam. Sedetik kemudian, mulutnya tampak bergerimit melafalkan doa-doa. Khusyu’.

Pada nisan itu tergores sebuah nama seorang wanita. Arini Hidayanti. Gadis itu meninggal lima tahun yang lalu dalam sebuah pendakian ke Gunung Pangrango.

Fajar selalu mendatangi makam itu setiap kali periastiwa lima tahun yang lalu di Lembah Mandalawangi menjelma mimpi-mimpi di dalam tidurnya. Lima tahun telah berlalu. Lima tahun dia harus hidup dengan perasaan bersalah.

Di kejauhan, sepasang mata tajam mengawasinya dari balik sebatang pohon besar. Keningnya mengernyit, membuat kedua alis tebalnya tampak menyatu.

Beberapa saat lalu, Edelweiss yang hendak pergi ke rumah Adinda di Depok Utara, melihat Tiger 2000 kakaknya membelok ke TPU Lembah Abadi. Edel langsung menghentikan angkutan umum yang dia tumpangi, kemudian turun. Dia jadi tertarik mencari tahu, mau apa kakaknya pergi ke tempat itu. Bunda dan ayahnya tidak dimakamkan di tempat itu. Lalu siapa yang ingin diziarahi olehnya? Pertanyaan itu yang membuat gadis semampai itu diam-diam meguntit kakaknya.

Ketika Fajar telah pergi meninggalkan makam Arini, dia menghampiri makam itu. Edel membaca nama yang terukir di nisan. Arini Hidayanti? Siapa dia? Si tomboy berusaha mengingat-ingat. Tapi tak ketemu nama itu di memori otaknya.

Selepas maghrib, Edel sampai di rumah Adinda. Gadis mungil itu baru saja selesai menunaikan shalat maghrib. Dia mempersilahkan Edel masuk.

“Sudah Sholat?” tanya Adinda.

Si tomboy hanya tersenyum meringis. Adinda tahu arti dari senyum itu. Dasar Edel… dia hanya shalat kalau sedang ada masalah saja.

Sementara Edel menunggu di ruang tamu, Adinda masuk ke dalam kamar melepas mukena yang masih melekat di tubuhnya.

Mata Edel berkeliling mengamati pigura-pigura yang menempel di dinding ruang tamu itu. Dia beranjak dari bangkunya menghapiri sebuah lemari kayu berukiran jepara. Di atas lemari ukiran jepara yang ada di pojok ruangan banyak dipajang pigura-pigura kecil. Dia tertarik dengan salah satu foto yang terdapat di dalam salah satu pigura itu. Wajah gadis di dalam foto itu hampir serupa dengan Adinda. Tadinya dia mengira itu foto Adinda. Tapi setelah diamati, mata gadis yang berada di dalam foto itu terlihat sayu, dan wajahnya terlihat lebih dewasa dari sahabatnya itu. Di dalam foto itu, gadis yang menurut perkiraan Edel tak kurang dari sembilanbelas tahun itu berpose dengan menyandang sebuah keril di pundaknya. Di balik tubuhnya terdapat bangunan serupa gubuk yang tinggal berupa rangkanya saja. Ada sebuah papan kayu yang menempel di sisi depan atas bangunan itu. Puncak Pangrango, 3019 mdpl.

“Kakakku,” kata Adinda yang datang dari dalam membawa dua gelas minuman dingin. Dia meletakkan gelas-gelas itu di atas meja. Edel kembali ke tempat duduknya.

“Kakakmu suka naik gunung juga?”

Adinda mengangguk.

“Foto itu diambil sesaat sebelum dia menghilang.”

“Menghilang?!”

“Ya. Dua hari kemudian dia baru diketemukan di sebuah lereng dekat mata air, di Lembah Mandalawangi. Tubuhnya membiru. Ada bekas gigitan ular berbisa di pergelangan kaki kanannya.” Ada kesedihan membersit dari bolamata Adinda, saat dia mengatakan itu.

“Maaf?” Edel jadi merasa tak enak.

“Ah, nggak apa-apa. Kami sekeluarga sudah bisa menerima kejadian itu sebagai takdir yang memang harus dialami oleh kakakku.” Dia berusaha menyamarkan kesedihannya dengan tersenyum.

“Kalau boleh kutahu, kapan kejadiannya?”

“Lima tahun yang lalu, saat pendakian pertamanya bersama Mapala Nusantara, tempat dia kuliah.”

“Kakakmu anggota Mapala Nusantara?”

“Iya. Kenapa?”

“Mas Fajar pernah menjabat sebagai ketua di sana.”

“Oya?” dia mentap tak percaya.

“Sungguh!” Edel menegaskan.

Adinda beranjak meninggalkan Edel. Dia pergi ke kamarnya. Sesaat kemudian dia kembali membawa sebuah album foto di tangannya. Dia memperlihatkan album itu kepada Edel. Edel membuka-buka album itu.

“Apa ada foto kakakmu di sana?”

“Ya.” Edel menunjuk seorang pemuda yang berdiri di barisan paling kanan dalam sebuah foto. “Kalau tak salah foto ini diambil di muka sekertariat Mapala Nusantar ‘kan? Aku juga punya foto ini.”

Adinda mendesah. Dia menatap ke arah Edel.

“Kalau begitu, aku tahu apa yang membuat kakakmu tidak mengijinkanmu naik gunung.”

“Oya? Apa?”

“Menurut cerita Mas Bayu, ketua Kembara yang merupakan sahabat dekat kakakmu ketika di Mapala Nusantara, setelah kematian kakakku, kakakmu langsung meletakkan jabatannya sebagai ketua Mapala, yang juga sekaligus merupakan pengunduran dirinya dari segala bentuk kegiatan pendakian. Dia merasa bertanggung jawab atas kematian kakakku. Dalam pendakian ke Gunung Pangrango lima tahun lalu, kakakmu yang mendampingi kakakku dan keempat orang lainnya dalam pendakian itu.”

“Apa kakakmu di makamkan di TPU Lembah Abadi?”

“Iya! Dari mana kau tahu?”

“Tadi, dalam perjalananku ke rumahmu, aku melihat kakakku membelok ke komplek pemakaman itu. Aku heran, mau apa dia ke tempat itu… padahal ayah dan bunda kami tak dimakamkan di tempat itu. Lalu aku menguntitnya diam-diam. Aku melihat dia sedang menziarahi sebuah makam. Ketika dia telah pergi meninggalkan tempat itu, aku menghampiri makam yang dia ziarahi. Pada nisan di makam itu terukir nama Arini Hidayanti.”

“Itu nama kakakku!” tukas Adinda. “Jadi dia yang selama ini sering menabur bunga di makam Teh Arin…”

“Jadi…”

Edel dan Adinda saling berpandangan.

^^^

Minggu sore.

Fajar baru saja selesai menunaikan shalat ashar waktu Edel muncul dari balik pintu kamarnya.

“Boleh aku masuk?”

“Masuklah. Aku sudah selesai.” Fajar melipat tikar sajadah, menyimpannya di dalam lemari pekaiannya. Edel duduk di atas ranjang tidur kakaknya. Fajar duduk di sebelahnya.

“Ada yang ingin kutanyakan sama Mas.”

“Sudah kukatakan, aku tak mengijinkanmu naik gunung.”

“Buka. Bukan soal itu.”

“Lantas soal apa?” Fajar memandangi wajah adiknya.

“Kenapa mas Fajar nggak pernah naik gunung lagi?”

“Lagi-lagi itu yang selalu kau tanyakan.” Fajar memalingkan wajahnya.

“Karena Mas tidak pernah memberikan jawaban yang memuaskan kepadaku.”

“Apa perlunya kau mengetahui hal itu?”

“Perlu. Perlu sekali! Karena itu akan memberikan jawaban kenapa Mas nggak mengijinkan aku naik gunung.”

“Apa hubungannya?”

“Jawab dulu pertanyaanku!” desak Edel,.

“Seperti yang sudah sering aku katakan, aku tak punya waktu untuk kegiatan itu lagi.”

“Bukan karena… Arini Hidayanti?” hati-hati Edel mengatakan itu.

Dahi Fajar mengernyit. Dia memandang tajam ke arah Edelweiss. Sorot matanya memeram tanda tanya.

“Kemarin aku melihat Mas menziarahi makam Arini.”

“Sejak kapan kau memata-matai aku?!”

“Siapa yang memata-matai… aku kebetulan saja melihat motor Mas membelok ke tempat itu.”

Fajar beranjak dari duduknya. Dia berjalan meninggalkan kamarnya.

“Mas! Kita harus membicarakannya.”

“Aku tak ingin membicarakannya.”

“Kalau begitu Mas akan terus hidup dengan perasaan bersalah?”

Fajar mengibaskan tangannya.

“Sudah lima tahun, Mas!”

Fajar tak menggubris ucapan Edel. Dia keluar meninggalkan kamarnya.

“Assalamu alaikum!” sapa Adinda yang sejak tadi menunggu di ruang tamu, saat dia malihat Fajar keluar dari dalam kamarnya.

Fajar memandang ke arah Adinda. Gadis bermata bulat itu menundukkan wajahnya. Tiba-tiba saja kedua mata Fajar membelalak lebar. Wajahnya menegang.

“Kenapa, Mas?” Tanya Edel yang sudah berdiri di balik punggungnya. “Mas merasa mengenali wajah serupa itu?”

“Di… dia…”

“Namanya Adinda,” kata Edel, “kalau Mas merasa tak asing dengan wajahnya, itu karena dia adalah adik kandung dari Arini Hidayanti, junior Mas di Mapala yang wafat lima tahun lalu di Lembah Mandalawangi karena digigit ular berbisa.”

“Jadi kau…”

Adinda mengangguk. Dia seperti tahu kalimat selanjutnya yang akan diucapkan Fajar.

Airmata menggenang di kelopak mata kakaknya. Sosok Arini seolah hadir kembali. Memori di kepalanya memutar kembali kenangan pahit lima tahun yang lalu. Dia memandang Adinda sendu.

“Seharusnya kejadian itu tak perlu terjadi, kalau saja aku tidak lalai mengawasinya,” sesalnya.

“Kalaupun Mas menemani Teh Arin saat itu, ular itu tetap akan menggigitnya, dan dia tetap akan meninggal saat itu juga. Karena begitu yang telah digariskan Allah,” suaranya teduh.

“Aku tetap tidak bisa memaafkan diriku.”

Adinda memandang ke arah Edel. Tersenyum. Edel tak tahu apa maksudnya.

“Mas ingin menebus kesalahan Mas itu?”

“Apa… apa yang bisa aku lakukan untuk menebusnya?”

“Sebenarnya aku tak pernah menganggap itu kesalahan Mas. Tapi kalau Mas Fajar merasa bersalah dan ingin menebus kesalahan itu, aku punya permintaan.”

“Apa?”

“Dampingi aku dan Edelweiss dalam pendakian kami ke Gunung Gede-Pangrango akhir tahun nanti?”

Fajar tampak bimbang. Dia memandang ke arah Edel. Si tomboy seperti tak sabar menunggu jawaban kakaknya.

“Baiklah,” katanya pelan.

Edel melompat kegirangan. Dia memeluk tubuh kakaknya.

Adinda tersenyum.***
Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini