Zavira dan Burung Pipit


Zavira membuka mata. Dia langsung beranjak menghampiri jendela kamarnya. Dibukanya daun jendela kamarnya lebar-lebar. Sinar matahari menyeruak masuk ke dalam kamarnya yang berada di lantai dua rumahnya.

“Aha!” gadis kecil yang pipinya bulat kemerahan itu tersenyum ketika melihat seekor pipit bertengger di sebatang pohon mangga, tepat di depan jendela kamarnya.

“Selamat pagi!” sapanya kepada pipit yang sedang sibuk membersihkan tubuhnya dengan paruhnya. Mendengar sapaan itu, si pipit yang paruhnya berwarna kuning itu bercericit sambil berterbangan kian kemari, seperti seorang penari yang sedang menari di atas pangung pertunjukan.

Zavira senang sekali melihat burung pipit itu.

Kapan pipit itu mulai bertengger di batang pohon mangga, yang persis berada di depan jendela kamarnya, di lantai dua rumahnya, Zavira tidak mengingatnya dengan pasti.

Beberapa waktu lalu, ketika dia harus terbaring seharian di kamarnya karena terserang flu, dia baru menyadari kalau setiap pagi seekor burung pipit yang mungil dan cantik selalu bertengger di ranting pohon mangga yang menjulur ke arah jendela kamarnya. Terkadang nemplok di jendela kamarnya dan bernyanyi indah sekali.

Sejak saat itu, setiap pagi sebelum pergi ke sekolah, Zavira selalu menyempatkan diri melihat pipit itu bernyanyi sambil berterbangan kian kemari. Dia juga suka memberikan makan kepada pipit itu.

Papa dan mamanya masuk ke dalam kamar. Gadis kecil kelas 4 SD itu segera berlari menghambur kepelukan kedua orangtuanya.

“Papa, Mama, lihat burung kecil itu!” Zavira menuntun tangan papa dan mamanya mendekati jendela kamarnya.

Pipit itu berterbangan kian kemari sambil memperdengarkan suara medunya.

“Aku ingin burung itu, Papa!”

“Iya. Nanti Papa belikan burung yang seperti itu.”

“Aku ingin burung itu. Bukan yang lainnya, Papa.”

Papa sangat menyayangi anak sematawayangnya itu. Maka, keesekan harinya, Papa menyuruh Mang Karta, tukang kebun di rumahnya, untuk menangkap pipit kecil itu. Papa menaruhnya di dalam sangkar kayu, dan meletakkan sangkar itu di dalam kamar Zavira, agar Zavira bisa menikmati keindahan suara burung itu setuap waktu.

Zavira senang sekali. Kini, dia tidak perlu menunggu pagi hari untuk bisa menikmati keelokan burung pipit itu. Dia menamai burung pipit itu: si Cantik.

Tapi sejak dipindahkan ke dalam sangakar kayu, burung pipit itu tak mau lagi bernyanyi. Dia menjadi sangat murung. Bahkan, makanan yang diberikan oleh Zavira pun, tak mau disentuhnya.

“Mungkin si Cantik tidak suka dengan sangkarnya, Papa.”

Papa segera membeli sangkar baru yang jauh lebih besar dan bagus. Sangkar itu terbuat dari besi dan berwarna keemasan. Si Cantik dipindahkan ke sangkar barunya yang luas dan indah. Namun, meski telah menghuni sangkar barunya, burung pipit itu masih tak mau bernyanyi. Dia hanya bertengger saja sambil menundukkan wajahnya. Kelincahannya seolah menghilang begitu saja. Dan semakin hari, burung pipit itu terlihat semakin lemah saja.

“Barangkali si Cantik tidak suka dengan makanannya, Mama.”

Mama mengelus kepala Zavira lembut.

“Vira, burung itu bukannya tidak suka dengan makanan yang kamu berikan. “

“Lalu kenapa dia tidak mau makan, Mama?”

“Karena burung itu tidak merasa bahagia di dalam sangkarnya.”

“Apa kita harus memberi sangkar baru yang jauh lebih besar dan lebih indah lagi?”

“Sama saja, Vira. Dia tetap tidak akan merasa bahagia berada di dalam sangkar.”

“Kenapa si Cantik merasa tidak bahagia berada di dalam sangkar, Mama? Bukannya seharusnya dia senang? Kalau di dalam sangkar itu, dia tidak akan kepanasan serta kehujanan. Dan dia juga tidak perlu repot-repot mencari makan. Kalau di luar sana, dia harus mencari makanannya sendiri. Belum lagi kalau ada pemburu yang ingin menembaknya…”

“Vira… kalau di luar sana, si Cantik bisa terbang bebas bersama teman-temannya. Dengan menaruhnya di dalam sangakar, kita telah merampas kebebasannya. Tempatnya burung itu di angkasa yang luas bersama teman-temannya, bukan di dalam sangkar yang sempit.”

“Jadi gimana dong, Ma?”

“Ya, Vira harus melepaskan si cantik. Kalau tidak, bisa-bisa burung itu mati lemas karena tidak mau makan!”

Dengan berat hati, akhirnya Zavira melepaskan si Cantik.

Wuss! Burung itu melesat cepat terbang ke angkasa yang luas.

Setiap pagi Zavira selalu menanti si Cantik di depan jendela kamarnya. Tapi burung pipit itu tak pernah kembali ke ranting pohon mangga. Mungkin dia takut ditangkap lagi… Zavira rindu sekali ingin mendengar pipit itu bernyanyi sambil menari-nari. Kini, ganti gadis kecil itu yang menjadi murung.

Papa dan mamanya sudah berusa menghibur Zavira. Mereka juga mencoba untuk membeli sebuah burung pipit untuk mengganti si Cantik. Tapi Zavira malah melepaskannya. Dia tidak ingin burung yang lain. Dia hanya mau si Cantik. Zavira jatuh sakit. Papa dan Mama membawanya ke dokter.

“Zavira sebenarnya tidak apa-apa. Kesehatannya baik-baik saja. Sepertinya dia hanya sedang bersedih saja,” terang Pak Dokter. “Bapak dan ibu tau apa yang telah membuat anak itu menjadi bersedih?”

Kemududian Papa bercerita pada Pak Dokter, tentang mengapa Zavira menjadi merasa sedih.

“Oh… kalau begitu, obatnya gampang! Zavira hanya perlu bertemu dengan burung pipitnya lagi. Kalau dia sudah bertemu dengan burung pipitnya, pasti dia akan kembali menjadi gadis yang ceria.”

^^^

Pagi itu, saat Zavira baru saja membuka matanya, tiba-tiba saja pendengarannya menangkap suara cericit yang sudah tidak asing lagi di telinganya.

Ciiit… ciiit… ciiiit…

Zavira beranjak dari tempat tidurnya. Memasang telinga lebar-lebar.

Ciiit… ciiit… ciiit…

“Itu pasti si Cantik!” gadis kecil yang pipinya bulat kemerahan itu langsung berlari menghampiri jendela kamarnya, dan membuka daun jendela kamarnya lebar-lebar. Dan benar saja, dia melihat si Cantik sedang bertengger di ranting pohon mangga! Dia tidak sendirian. Tapi berdua dengan temannya!

“Cantik!”

Mendengar panggilan itu, si Cantik dan temannya terbang dan nemplok di jendela sambil bernyanyi merdu. Zavira mengelus-elus kepala burung-burung mungil itu. Dan memberikan mereka makanan. Si Cantik dan temannya makan lahap sekali. Lalu terbang kian-kemari sambil bernyanyi-nyanyi.

Sejak saat itu, si Cantik dan temannya tinggal di pohon mangga. Mereka membuat sarang di sana. Dan setiap pagi, suara cericitnya yang merdu, selalu membangunkan Zavira dari lelap tidurnya. Gadis kecil itu menjadi bahagia.

Cerpen Depo
Dimuat di Majalah Favorit
Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini