Love Messages #3

Oleh De Zha Voe



Sejak lepas jam sekolah tadi, ruang redaksi majalah sekolah SUKA (Suara anaK sekolAh) punyanya SMU Merah Jambu nampak hiruk-pikuk. Ela, Pemred majalah itu seperti kebakaran jenggot. Padahal dia gak punya jenggot! Kerjaannya ngomel-ngomel melulu sejak tadi.

Maklum saja, seharusnya siang itu mereka sudah merapatkan materi yang siap diturunkan untuk edisi bulan ini. Besok sudah harus naik cetak. Tiras majalah mereka terbilang cukup bagus untuk ukuran majalah sekolah, sebab mereka mendistribusikannya ke sekolah-sekolah tetangga. Dan yang paling membuat anak-anak sekolah lain berminat, redaksinya menerima kiriman naskah dari siapa saja, yang penting masih berseragam sekolah, tidak harus dari SMU Merah Jambu.

“Gi! Artikel pensi SMU Cakra minggu lalu kenapa belom ada di meja gue?!” todong Ela.

“Noh!” jawab Argi santai, sambil matanya nggak lepas dari layar komputer. Hanya bibirnya saja yang maju beberapa senti, membentuk garis lurus ke meja Arga.

Ela berkerut kening. “Arga?”

“Iya,” kata Argi, “dia yang ngeliput acara itu. Gue jadi penonton doang.”

Kening Ela kembali berkerut persis kelapa yang baru diparut, melihat Arga asyik goyang-goyang kepala di mejanya. Bukan kenapa-kenapa, dari semua makhluk yang tengah menghuni ruang redaksi, cuma Arga aja yang kelihatan paling santai, padahal mereka tengah dikejar-kejar deadline.
Ela menghampiri meja Arga.

“Ga!”

Arga diam saja.

“Arga!” tegur Ela, setengah membentak.

Arga cuek saja. Dia gak mendengar, karena telinganya tersumbat headphone. Entah apa musik yang sedang menguasai ruang pendengarannya, yang pasti sukses membuat Ela kehilangan pesona kecantikannya, karena dua tanduk yang tiba-tiba muncul di kepalanya.

Hilang sudah kesabaran siswi kelas tiga jurusan bahasa itu. Didekatkan mulutnya ke telinga Arga. Lalu dengan hati-hati dia regangkan headphone yang tengah menyumbat telinga Arga, sebelum berteriak lantang: “ARGAAAAA...!!!”

Arga menghentikan aktifitasnya seketika.

“Apaan sih, La?” kata Arga santai, seolah teriakan Ela barusan sama sekali gak ada arti bagi telinganya.

Padahal, teriakan Ela yang lebih kenceng dari pedagang obat yang biasa mangkal di pinggir-pinggir jalan tadi, mampu membuat Dini yang lagi nulis hasil wawancaranya dengan Leyla Imtichanah, penulis terkenal yang sudah menghasilkan 8 judul buku itu, terlonjak ke udara, sampai walkman di genggaman tangannya terempas ke lantai. Untung kaset hasil wawancara dengan Leyla Imtichanah gak sampai rusak. Tapi walkman-nya... kayaknya Dini harus beli yang baru lagi, deh.

Malah si Fifi, sekertaris redaksi merangkap bendahara, yang mulanya mau masuk ke ruang redaksi langsung angkat kaki, begitu mendengar teriakan Ela yang gak sehat buat telinga manusia yang masih normal, dari luar pintu.

Fifi memang trauma kalo dengar Ela lagi marah-marah. Dia pernah dimarahin Ela gara-gara lupa membayar honor penulis yang cerpennya dimuat di majalah SUKA, sampai gak napsu makan satu bulan.

Apalagi si Ela kalo lagi marah suka merembet ke mana-mana. Jadi, demi keselamatan dirinya, Fifi lebih memilih menunda memberikan laporan hasil penjualan majalah bulan lalu sampai waktu yang belum direncanakannya.

Tapi si Arga...

“Artikel Pensi!” ulang Ela.

“Pensil?” Arga mengambil pensil dari laci mejanya, dan memberikannya kepada Ela. “Tar kalo udah selesai kembaliin lagi ya.”

“ARGAAAAA...!!!” kembali Ela berteriak.

“Hehehehe...” Arga nyengir-nyengir gombal. Dia memang paling suka menggoda Pemrednya itu.

Arga menyerahkan flashdisknya pada Ela.

“Filenya ada di folder ARGA KEREN,” terang Arga.

Ela segera kembali ke mejanya. Meng-copy file ARGA KEREN ke komputernya. Tapi waktu dia membuka folder itu, isinya hanya foto-foto Arga dalam berbagai pose, gak ada artikel pensinya.

“Apaan nih, Ga?!”

Kuping Arga yang sudah kembali tersumbat headphone nggak mendengar suara Ela. Akibatnya, sebuah pulpen mendarat manis di kepalanya yang asyik bergoyang seiring hentakan musik dari program winamp3 di komputernya.

Arga celingukan, mencari-cari darimana pulpen yang mendarat di kepalanya itu berasal. Pandangannya berhenti di meja Ela. Arga mendapati Pemrednya itu tengah mengalami proses mimikri di wajahnya, seperti seekor bunglon yang berubah warna tubuh sesuai dengan emosi dan lingkungannya. Kulit Ela yang putih menjelma kayu bakar yang sudah jadi bara. Seperti lokomotif kereta api, dari kepalanya mengepul asap panas!

“Kenapa?” tanya Arga tanpa rasa berdosa.

Ela gak menjawab pertanyaan itu. Hanya tangan kanannya yang terangkat ke udara, sambil menggenggam gelas minuman yang siap dia lemparkan ke jidat Arga. Kalo sudah begitu, dia nggak berani lagi main-main sama Ela.

Arga tersenyum kecut. “Hehehe... filenya ada di folder KERJAAN ARGA,” ujarnya memberi tahu.
Tidak berapa lama, seluruh materi yang bakal diturunkan pada edisi majalah SUKA bulan ini terkumpul seluruhnya di meja Ela. Rapat pun segera digelar. Gak terlalu banyak yang dibicarakan, karena waktu sudah tidak memungkinkan. Mereka persis wakil rakyat tempo dulu yang jago nyanyiin lagu: Setuju!

Setelah semuanya oke, mereka menyerahkan seluruh materi pada Fadil yang kebagian tugas sebagai layouter, sebelum diorder ke percetakan. Untuk kemudian didistribusikan.

Ringtone Hp Arga mengudara, tanda ada SMS yang masuk ke inboxnya. Arga mengobrak-abrik tumpukan kertas di atas mejanya. Tapi tidak juga dia temukan Hp miliknya. Di tasnya juga nggak ada.

“Aduh... di mana sih Hp gue?!”

Tiba-tiba sebuah pesawat kertas mendarat mulus di atas mejanya yang berantakan. Arga memungutnya. Di badan pesawat itu tertulis:

HP LO ADA DI MEJA GUE

Arga langsung menoleh ke meja Argi, yang sekarang lagi asyik main game buat menghilangkan penat di kepalanya, seusai kejar-kejaran dengan deadline. Arga menghampiri meja kembarannya itu.

“Kalo pinjem Hp ngomong-ngomong, dong!” Arga merengus, “tinggal dikit tuh pulsanya.”

“Siapa yang make pulsa elo?”

“Jadi buat apa elo pinjem Hp gue?”

“Buat...” Argi tampak ragu.

“Mana siniin Hp gue!”

“Tuh...” Argi menunjuk ke bawah mejanya. “gue pake buat ganjel meja.”

“Hah?!?!”

Argi buru-buru membentengi kepalanya dengan keyboard komputernya, bersiap menerima serangan rudal jitakan dari Arga. Tapi rupanya, Arga lagi gak berminat melakukan invasi ke jidat Argi. Dia lebih tertarik dengan isi SMS yang baru aja dikirim ke nomer Hp-nya, sampai keningnya berlipat lima.

“Ah, ini mah puisinya Sapardi Djoko Damono yang judulnya Aku Ingin!” gumam Arga.

“Apaan sih, Ga?” tanya Argi, “Dari siapa?”

Arga melihat nama pengirim di bawah puisi itu. Lalu menyodorkan Hp-nya kepada Argi. “Buat lo!”

“Buat gue?” Argi suprise banget, “kebetulan udah lama gue pengen embat Hp lo, eh... malah dikasih. Makasih ya, Ga!”

“Enak aje lo!”

“Kenapa?”

“Bukan Hp-nya! Tapi SMS-nya!”

“Gue kirain...”

Argi membaca isi pesan yang dikirimkan oleh orang yang sama, yang mengirimkan e-mail berisi surat cinta kepadanya: Lelaki Terindah!

Aq ingn mncintaimu dgn sdrhanadgn kata yg tak smpat diucpkan kayukpd api yg mnjdkannya abuaq ingn mencintaimu dgn sdrhanadgn isyrat yg tak smpat disampaikan awnkpd hjn yg menjdikannya tiada
Sender: +62815693142Sent: 21 May 2005 14:31:04

“Huaaaa... romantis banget!” jerit Argi setelah membaca SMS dari Lelaki Terindah.

“Romantis apaan!” timpal Arga, “Plagiat gitu! Itu kan puisinya Sapardi Djoko Damono! Masa lo gak tau?!”

“Biarin aja! Yang pentingkan ditujukan buat gue!”

“Tapi... kenapa dikirimnya ke Hp gue ya?” Arga heran.

“Iya juga ya...”

“Mungkin...”

“Ah, kali aja dia salah nomer... Nomer kita kan cuma beda belakangnya doang,” duga Argi. “Elo juga sih beliin nomer gue samaan.”

“Yeah, biar dibilang kompak, Gi,” jawab Arga, “kita kan kembaran.”

“Ih, gak sudi kompak sama elo!”


Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini